WORKSHOP PENINGKATAN PELAYANAN KONSUMEN AIR MINUM
KOMISI D
DPRD KOTA MALANG
PEMBERDAYAAN KONSUMEN BERKAITAN DENGAN HAK KONSUMEN AIR MINUM (PDAM) DI KOTA MALANG
Oleh :
YULATI, SH.,LLM[1]
Makalah ini dipresentasikan d dalam acara workshop dengan Komisi D DPRD Kota Malang, Hotel Pelangi,
Malang, 9 Juli 2008
- A. Realita Pelayanan PDAM Di Beberapa Kota Di Indonesia
Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik untuk dicermati, karena masalah konsumen bersinggungan langsung dengan aspek keamanan, kesehatan serta keselamatan manusia serta pelayanan publik. Gambaran buram tentang lemahnya pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan konsumen di Indonesia telah memberi pelajaran bagi bangsa dengan terjadinya kasus-kasus konsumen yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, akan tetapi juga nyawa.
Sebelum undang-undang perlindungan konsumen di berlakukan, ada banyak kasus konsumen yang menyita perhatian publik misalnya kasus bumbu masak Ajinomoto yang ditengarai mengandung babi, kasus pemakaian boraks pada berbagai produk makanan dan kosmetika sejak 1979, pemakaian MSG yang melebihi batas ambang yang di ijinkan pada makanan ringan, kasus biskuit beracun pada tahun 1989 yang menewaskan 29 orang.( NHT Siahaan, 2005: 3-4), akan tetapi setelah di undangkannya UUPK pun kasus-kasus konsumen tetap marak, misalnya kasus susu bubuk bayi yang diduga mengandung bakteri saakaszakii, obat nyamuk yang mengandung racun serta pemakaian formalin, boraks, pewarna tekstil untuk produk makanan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2004 mencatat data pengaduan yang masuk berdasarkan komoditas sebagai berikut:
Data Pengaduan Konsumen tahun 2004
NO |
KOMODITAS |
JUMLAH |
% |
1 | Perumahan |
76 |
16.63 |
2 | PLN/Listrik |
67 |
14.66 |
3 | PDAM/Air minum |
66 |
14.44 |
4 | Telepon |
54 |
11.82 |
5 | Bank |
38 |
8.32 |
6 | Elektronik |
24 |
5.25 |
7 | Transportasi |
19 |
4.16 |
8 | Asuransi |
17 |
3.94 |
Kecenderungan yang dicatat oleh YKLI dalam setiap pengaduan adalah buruknya pelayanan publik seperti perumahan, listrik, air dan telpon masih belum bergeser dari 4 besar instansi yang paling sering diadukan sampai saat ini. Buruknya kinerja BUMD khususnya PDAM yang terjadi di beberapa kota di Indonesia berikut ini terekam dalam artikel dari surat kabar yang menggambarkan sebagai berikut:
Lampung Post ( 19 Juni 2008), Konsumen PDAM Terus Mengeluh
Konsumen PDAM Limau Kunci, Liwa, Lampung Barat, terus mengeluh karena sejak dua bulan lalu air tidak mengalir. Dan, sejauh ini tidak apa upaya mengatasinya meskipun keluhan tersebut sudah disampaikan masyarakat.Yuli (26), ibu rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Pasar Liwa, Balik Bukit, mengatakan air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital. Sayangnya, masyarakat harus mengeluarkan anggaran ekstra karena harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Air PDAM tidak mengalir. Jadi kami harus membeli Yuli mengaku sudah sering mengadukan masalah itu ke PDAM, tapi tidak pernah ada tanggapan. Sejauh ini, kata dia, belum ada pegawai atau staf PDAM yang mengontrol saluran di rumahnya. Bahkan, di daerah sekitar Pasar Liwa sudah bertahun-tahun air bersih tidak mengalir.
KOMPAS, 12 Juni 2008,PDAM Kota Semarang Paling Banyak Dikomplain Konsumen Semarang, Meski kerap mendapat sorotan tajam dari masyarakat karena kinerja pelayanannya yang kurang memuaskan, Perusahaan Daerah Air Minum Kota Semarang belum berubah. Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang mencatat, selama tahun 2007 PDAM paling banyak menerima komplain dari masyarakat dibanding instansi dan perusahaan lainnya. Ada lima persoalan yang banyak dikomplain masyarakat terkait pelayanan perusahaan daerah milik Pemerintah Kota Semarang tersebut.
Suara Merdeka, Konsumen PDAM Berhak Tuntut Ganti Rugi,PDAM Kabupaten Banyumas harus memberi ganti rugi atau kompensasi kepada pelanggan yang dirugikan akibat macetnya aliran air perusahaan itu sejak Sabtu (18/3). Hingga Senin (21/3) kemarin, kerusakan pipa induk dari jalur Baturraden belum selesai diperbaiki. Akibatnya, pelanggan masih kelabakan untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Pelanggan yang dirugikan sekitar 14.000 yang tersebar di wilayah Kota Purwokerto, Kecamatan Sokaraja, Kalibagor, dan Banyumas.”Karena kejadiannya sudah lebih dari 1×24 jam maka konsumen (pelanggan) berhak menuntut ganti rugi. Itu tidak cukup dengan penyampaian permintaan maaf dari pihak PDAM setelah ada kejadian,” kata Ketua Yayasan Badan Perlindungan Komsumen Nasional (Yabpeknas) Cabang Purwokerto Untung Setio Karsono kemarin kepada Suara Merdeka.
Fajar online, 30 Mei 2008, Kinerja PDAM Makassar Buruk,Keputusan pemerintah menghapus bunga utang dan denda Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mendapat sambutan positif dari sejumlah pengamat. Namun, khusus bagi PDAM Makassar, pemutihan itu sulit diperoleh karena kinerjanya yang sangat buruk. Pendapat tersebut dikemukakan tiga pengamat yang dihubungi terpisah, malam tadi. Mereka adalah Bastian Lubis, Koordinator Anti Corruption Committee (ACC) Abraham Samad, dan Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulsel Yudi Raharjo. Banyak faktor yang memicu kinerja buruk PDAM. Salah satunya adalah terjadinya penyimpangan dana. Saya kira PDAM Makassar sarat dengan korupsi. Penyakit ini harus segera diberantas untuk meningkatkan kinerja PDAM,” kata Abraham.Sementara Sekretaris YLK Sulsel Yudi Raharjo, mengatakan, selama ini, pelayanan PDAM kepada konsumen belum memuaskan. Baik dari segi debit air maupun kualitas air yang disuplai ke konsumen. PDAM harus meningkatkan kualitas airnya.“PDAM juga tidak terlalu peduli dengan pengaduan konsumen. Padahal, mereka mestinya responsif. Setiap masukan konsumen harus dihargai. Proses pencatatan meteran juga masih perlu dibenahi. Kadang ada meteran yang harus ditera ulang atau malah diganti,” katanya.
Sedangkan data pengaduan di PDAM Malang saat ini, sebagaimana di catat oleh www.kompas.com menyebutkan ada 708 kasus dengan rincian sebagai berikut: 444 kasus (62 %) pengaduan terkait kebocoran air, 130 kasus ( 18 %) karena air tidak mengalir,72 kasus ( 10,16 %) terkait pencatatan pemakaian air yang tiba-tiba meningkat dan lain-lain. Menurut pendapat direktur teknik PDAM Malang, tingkat kebocoran air mencapai 30 % dari total produksi 1300 l/detik. Hal ini disebabkan jaringan pipa yang usang serta rendahnya kualitas seal (pelapis sambungan pipa) sehingga setiap tahun ada kebocoran di 2400 titik.
Banyaknya kritik dan pengaduan atas buruknya pelayanan PDAM, justru tidak menyurutkan pengelola PDAM untuk menaikkan tarif air minum kepada pelanggannya dari waktu ke waktu dengan alasan PDAM selalu menderita kerugian (Kompas 12 Juni 2007,”YLKI: PDAM Tidak “Fair” Kenaikan Tarif Air Minum Harus Didasarkan Indikator Kepuasan Konsumen”. Situs Combiphar, 12 januari 2006,“YLKI dan Konsumen Air Tolak Kenaikan Tarif PDAM DKI Jakarta”. www.sidoarjokab.go.id “ PDAM punya utang 900 juta pada karyawan, 2007 PDAM menaikkan tarif”.www.pikiran rakyat,” PDAM Kabupaten Garut Akan Menaikkan Tarif Penetapan Sepenuhnya di Tangan Bupati dan DPRD”). PDAM Kota Malang juga tidak ketinggalan untuk menaikkan tarif 18 % pada tahun 2007 dengan alasan untuk pembiayaan pembangunan jaringan di daerah Tasik Madu, Cemoro Kandang dan Madyopuro yang memerlukan dana 11 milyar rupiah.
Sedangkan penilaian konsumen terhadap PDAM terekam dalam tulisan seorang konsumen PDAM Kota Tangerang yang mungkin dapat mewakili ketidak puasan konsumen-konsumen lain sebagai berikut:” PDAM DISAYANGI TAPI TIDAK MENYAYANGI KONSUMEN”
Berbicara masalah PDAM khususnya yang ada di wilayah Tangerang, sesungguhnya merupakan sesuatu yang basi dan nampaknya tak punya efek langsung terhadap perbaikan kualitas pelayanan PDAM. Hal itu dikarenakan begitu banyak kritik masukan yang disampaikan kepada Pengelola PDAM, tapi realitasnya pelayanan yang diberikan masih dibawah standar normal. Akan tetapi, sekalipun demikian, kata orang, lebih baik mengingatkan secara terus menerus, mungkin merupakan cara yang terbaik untuk menyadarkan pihak otorita PDAM. Mungkin suatu saat akan mengalami proses penyadaran secara alamiah. Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat merupakan konsumen pelanggan PDAM. Hal pertama yang kiranya sangat sering dikeluhkan masyarakat yaitu masalah pencatatan meteran yang seringkali tidak dilakukan secara benar dan teratur. Sabagi akibatnya, banyak konsumen yang harus membayar jauh lebih mahal dari seharusnya. Hal itu disebabkan sistem perhitungan debit pemakaian air yang mana, semakin banyak debitnya akan semakin mahal harga per kubiknya. Sementara para tukang catat meteran banyak sekali yang tidak pernah sampai ke tempat konsumen, malainkan hanya mereka-reka jumlah pemakaian. Akitbanya, pada saat yang bersangkutan (pencatat meteran) datang ke lokasi meteran, terkadang debit kubik air yang sudah dipakai, namun tidak tercatat pada bulan-bulan sebelumnya, menumpuk di bulan tertentu. Alhasil, yang terjadi konsumen harus membayar tunggapan debit air pada bulan-bulan sebelumnya. Hal ini tentu sangat merugikan konsumen, apalagi dengan sistem perhitungan debit/kubik air. Semakin banyak kubiknya semakin tinggi harga per kubiknya. Kedua, masalah kualitas air. Seringkali kualitas air yang kurang layak dikonsumsi untuk masak dan minum. Bagi yang berduit, khusus untuk masak dan minum bisa memakai dari air mineral/isi ulang dan msejenisnya. Air PDAM hanya untuk kebutuhan mencuci dan mandi. Namun, bagaimana nasib mereka yang kesulitan dari sisi ekonomi? Ini sesuatu yang tidak manusiawi. Sementara di sisi lain, PDAM selalu memiliki keinginan untuk selalu menaikkan harga/tarif PDAM dengan berbagai alasan. Sesungguhnya konsumen mungkin tidak akan terlalu berkeberatan untuk menerima kenaikan itu kalau saja pihak PDAM meningkatkan pelayanannya dari berbagai sisi. Mudah-mudahan ke depan PDAM tidak hanya memikirkan masalah Profit, namun juga memperhatikan standar pelayanan yang manusiawi agar keuntungan yang diperoleh PDAM menjadi layak dan adil secara moralitas (www.pintunet.com)
Fakta-fakta sosial yang merugikan masyarakat tersebut diatas mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak konsumen, kurangnya tanggungjawab pelaku usaha (dalam hal ini adalah PDAM) serta kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kinerja BUMD tersebut.
- B. Permasalahan
Beranjak dari fakta-fakta tersebut diatas maka diskusi kali ini akan difokuskan pada permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimanakah pertanggung jawaban PDAM terhadap pemerintah dan konsumen
- Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang bisa diajukan oleh konsumen jika konsumen mengalami kerugian
- Langkah-langkah apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memberdayakan konsumen air di kota Malang
- C. Alternatif Pemecahan Masalah
- 1. Pertanggung jawaban PDAM terhadap pemerintah dan konsumen
Berbicara tentang pertanggungjawaban hukum bagi PDAM maka kita perlu mencermati dulu status hukum dari PDAM itu sendiri. Berbeda dengan BUMN lain misalnya PT PLN, PT Kereta Api, PT Perhutani, Perum Jasa Tirta , Perum BULOG dan peusahaan milik negara lainnya yang jelas-jelas tunduk pada UU 19/ 2003 tentang BUMN.
Sedangkan untuk perusahaan daerah seperti PDAM sampai saat ini memang belum ada Undang-Undang yang secara khusus membahas tentang Perusahaan Daerah. Badan usaha milik negara (dalam hal ini pemerintah daerah) secara implisit tunduk pada ketentuan UU 19 / 2003 tentang BUMN. Dalam penjelasan UU 19/2003 bagian VII disebutkan bahwa sifat usaha BUMN, yaitu untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan kemanfaatan umum, dalam Undang-undang ini BUMN disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) yang bertujuan memupuk keuntungan dan Perusahaan Umum (Perum) yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan usaha sebagai implementasi kewajiban pemerintah guna menyediakan barang dan jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Untuk bentuk usaha Perum, walaupun keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan umum, namun demikian sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu Perum harus diupayakan juga untuk mendapat laba agar bisa hidup berkelanjutan. Oleh karena itu, PDAM yang kualifikasinya sangat mirip dengan Perum, harus menjalankan kegiatannya demgan mengutamakan prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) secara konsisten sebagaimana badan layanan publik lainnya. Keputusan Menteri BUMN 117/ 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada BUMN, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa :
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang dimaksud dalam Keputusan ini meliputi:
a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan;
b. kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
d. pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
e. kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penerapan prinsip good corporate governance adalah:
a. memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional;
b. mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ;
c. mendorong agar Organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN; d. meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
e. meningkatkan iklim investasi nasional; f. mensukseskan program privatisasi.
Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, antar wilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. PDAM sebagai perusahaan daerah satu-satnya yang melayani kebutuhan air bagi masyarakat juga tunduk pada ketentuan UU 7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air:
Pasal 45
(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.
(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai
hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah.
(3) Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:
a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;
b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan
yang ditentukan dalam perizinan.
Pasal 46 menyatakan :
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaansumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan
alokasi air sementara.
Pasal 47
(1) Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:
a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber
daya air; dan
b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin
pengusahaan sumber daya air.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan
masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
(4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.
(5) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong
keikutsertaan usaha kecil dan menengah.
Dengan demikian, sebagai perusahaan milik pemerintah daerah PDAM Malang bertanggungjawab secara langsung kepada kepala daerah, dalam hal ini adalah walikota Malang, karena secara prinsipiil kepala daerah lah yang memiliki kewenangan untuk mengatur pengelolaan sumber daya air, hal ini juga didukung ketentuan pasal 25,26,27 UU 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan secara rinci wewenang dan tugas kepala daerah termasuk walikota.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban PDAM terhadap konsumen, maka status PDAM adalah pelaku usaha dan secara otomatis tunduk pada ketentuan UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 6 Undang-undang no 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut adalah:
- a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
- b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
- e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 7 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah:
- a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
- c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku;
- e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau barang yang diperdagangkan;
- f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
- g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Selain itu ada berbagai macam perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang terhadap pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 8 sampai dengan pasal 16 UUPK yang pada dasarnya merupakan rambu-rambu bagi pelaku usaha agar menjalankan usahanya dengan jujur dan bermartabat serta tidak merugikan konsumen. UUPK juga membebankan kewajiban bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 19 UUPK sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Ketentuan-ketentuan bagi pelaku usaha di dalam UUPK merupakan bentuk nyata pertanggungjawaban bagi pelaku usaha terhadap konsumen.
Selain tunduk pada UUPK, PDAM dalam menjalankan tugas pelayanan kepada konsumennya, terutama berkaitan dengan alat ukur yang dipakai untuk menentukan jumlah air yang disalurkan ke rumah konsumen, maka PDAM juga tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Pasal 12 UU 2 tahun 1981menyatakan:
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang :
a. Wajib ditera dan ditera ulang;
b.dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya;
c. syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Mengenai wajib tera dan tera ulang dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1985 tentang Wajib Dan Pembebasan Untuk Ditera Dan/Atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, Dan Perlengkapannya (UTTP).
Pasal 1 PP 2/1985 menyatakan
Yang dimaksud dengan :
1.Alat ukur, alat takar, alat timbang, dan perlengkapannya adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981,selanjutnya disingkat UTTP;
2. Wajib ditera adalah suatu keharusan bagi UTTP untuk ditera;
3. Wajib ditera ulang adalah suatu keharusan bagi UTTP untuk ditera ulang.
PP tersebut diatas diperkuat lagi dengan Lampiran VIII Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No: 61/MPP/Kep/2/1998 tentang Penyelenggaraan Kemetrologian. Jangka waktu tera ulang untuk UTTP sebagai berikut:
1. Meter KWH 1 phase jangka waktu tera ulang 10 tahun;
2. Meter KWH 3 phase jangka waktu tera ulang 10 tahun;
3. Meter Air jangka waktu tera ulang 5 tahun
- 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pada umumnya, Ada lima persoalan yang banyak dikeluhkan masyarakat terkait pelayanan PDAM di Indonesia yaitu: aliran yang sering mati, tagihan kedaluwarsa, pencatatan air yang tak sesuai dengan kenyataan, kualitas air yang kurang jernih dan higienis, serta layanan administrasi yang kerap kali tidak tanggap terhadap keluhan pelanggan. Satu hal lagi yang juga sering dikeluhkan adalah kenaikan tarif progresif setiap tahun yang seringkali tidak disertai dengan peningkatan mutu pelayanan yang prima.(www.kompas.com) Persoalan-persoalan tersebut diatas merupakan pokok sengketa yang timbul antara PDAM dan konsumen.
Di dalam UUPK telah diatur mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara Pelaku usaha dan konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 58 UUPK. UUPK pada dasarnya memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk memulihkan haknya. Penyelesaian sengketa ini bisa dilakukan melalui jalur litigasi atau peradilan dengan mengajukan gugatan perdata biasa( pasal 45) atau mengajukan gugatan kelompok (class action)( pasal 46), serta mengajukan tuntutan pidana biasa (pasal 45 ayat 3). Sedangkan penyelesaian diluar pengadilan bisa dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.(pasal 47) ataupun penyelesaian sengketa melalui BPSK.
Gugatan dengan cara class action atau gugatan kelompok memang dimungkinkan dalam UUPK serta Undang-undang lain yang menyangkut kepentingan publik misalnya UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41 /1999 tentang Kehutanan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan kelompok dijabarkan dalam SEMA 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Syarat utama yang harus dipenuhi dalam gugatan kelompok ini adalah : ( NHT Siahaan, 2005:239)
- 1. Numerosity
Yaitu jumlah yang berhak menjadi penggugat sangat banyak sehingga sangat tidak praktis dan tidak efisien jika masing-masing penggugat mengajukan gugatannya sendiri
- 2. Commonality
Yaitu adanya kesamaan fakta hukum diantara para pihak
- 3. Typicality
Yaitu tuntutan (bagi pihak penggugat) maupun pembelaan( bagi pihak tergugat) dari seluruh anggota yang diwakili harus jelas
Gugatan kelompok pernah dilakukan oleh Eksponen 66 Sumatera Utara melawan APHI ( Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) yang menyebabkan kebakaran hutan, Kelompok Pemakai Anti Kenaikan LPG( KAMPAK) melawan PT Pertamina, YLKI dalam gugatan melawan PT PLN karena pemadaman listrik di wilayah Jawa Bali, YLKI melawan PT Telkom atas penentuan tarif yang tidak fair, YLKI melawan PT PALYJA JAYA karena buruknya kualitas air yang diterima pelanggan, Komparta ( Komunitas Pelanggan air Jakarta) melawan Pemerintah DKI Jakarta berkaitan dengan kenaikan tarif air sampai 40 %.
Sedangkan hak gugat, dalam UUPK juga diperluas tidak hanya perorangan atau kelompok yang menderita kerugian akan tetapi hak gugat juga diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewakili kepentingan konsumen. Hak gugat bagi LSM ini biasa disebut dengan standing law atau di Indonesia dikenal dengan legal standing. Dalam hal ini LSM yang pertama kali menggunakan standing lawnya adalah WALHI melawan PT Indo Rayon Inti Porsea, walaupun gugatan tersebut dikalahkan dengan alasan WALHI tidak mewakili kepentingan korban pencemaran dari PT Indo Rayon Inti.
Ada 3 hal yang menjadi syarat agar LSM memiliki hak menggugat :
- berbentuk badan hukum
- Anggaran Dasarnya secara jelas menyebutkan melindungi kepentingan konsumen
- telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan Anggaran Dasarnya
Dalam sengketa konsumen pasca berlakunya UUPK, maka penggunaan legal standing dari LSM biasanya di gunakan dengan gugatan kelompok, sebagaimana dilakukan oleh YLKI melawan PT PLN dan YLKI melawan PT Pertamina. Hal ini juga dilakukan oleh KOMPARTA melawan Pemda DKI serta Koalisi Air yang mengajukan judisial review terhadap UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
- 3. Langkah-Langkah Pemberdayaan Konsumen Air Minum Di Kota Malang
Implementasi penyelenggaraan Perlindungan Konsumen yang telah memasuki tahun ke 8 (delapan) sejak diberlakukannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tahun 2000. Penerapannya secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat/ Konsumen. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain : Pertama, Sosialisasi Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berikut peraturan pelaksanaannya belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat Repulik Indonesia tercinta yang secara geografis tinggal di beberapa kepulauan yang sulit dijangkau.Kedua, Sebagian besar Konsumen, Pelaku Usaha, Aparat Pembina dan Aparat Penegak hukum belum mengetahui dan mamahami manfaat dan pentingnya Perlindungan Konsumen, Khususnya yang terkait dengan Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha serta perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab Pelaku Usaha sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Ketiga, Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga UUPK ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat /Konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas Hak-haknya sebagai konsumen seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut. Berkenaan dengan kondisi yang sepeti tersebut diats maka langkah penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah bersinergi dengan masyarakat adalah melakukan pemberdayaan.
Mochtar Mas’oed, sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso ( www. Multiply.com) menjabarkan tiga konsep pemberdayaan masyarakat yaitu:
- 1. Enabling
Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang, dengan jalan memotivasi atau memberikan dorongan dan meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya.
- 2. Empowering
Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan langkah nyata yaitu membuka akses dan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan haknya
- 3. Protecting
Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dengan cara melindungi kepentingan yang lemah dari tindakan sewenang-wenang pihak yang lebih kuat.
Ketiga konsep ini akan sangat sesuai jika dikaitkan dengan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah dimana gagasan besar reformasi adalah meningkatkan pemberdayaan masyarakat sebagai variabel kunci suksesnya pelaksanaan otonomi daerah, yang semuanya itu bermuara pada pengurangan jumlah penduduk miskin, peningkatan mutu pendidikan dan perbaikan derajat kesehatan.
Dalam konteks perlindungan konsumen, ketiga konsep pemberdayaan ini sangat mungkin dilakukan baik oleh Pemerintah, PDAM, LSM dan masyarakat sebagai konsumen PDAM di kota Malang. Hal yang cukup responsif yang telah dilakukan oleh PDAM kota Malang sebagaimana dalam situs resmi http://www.perpamsi.org/pdam_malang adalah membuka layanan pengaduan 24 jam baik melalui telpon maupun email, ketersedian informasi yang jelas tentang tarif dan standar layanan yang diterapkan kepada pelanggan termasuk kemudahan pembayaran rekening tagihan secara online, akan tetapi tidak ada jaminan pemulihan hak ataupun ganti rugi bagi konsumen apabila PDAM tidak memenuhi atau melanggar standar layanan yang telah ditetapkan.
Di dalam UUPK, ada lembaga-lembaga yang berperan dalam pemberdayaan konsumen yang pertama, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur dalam Pasal 31-43 UUPK dengan fungsi utamanya memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Yang kedua, yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sebagaimana diatur dalam pasal 44 UUPK. Akan tetapi sayangnya sampai saat ini tidak prnah terdengar kiprah dari dua lembaga yang dibentuk pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat. Sedangkan kepentingan konsumen lebih banyak disuarakan oleh LSM yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan perkembangan LSM seperti ini semakin hari semakin banyak baik jenis dan jumlahnya misalnya Lembaga Perlindungan Konsumen yang banyak didirikan di kota-kota di Indonesia ( Medan, Padang, Palembang, Surabaya, Semarang, Makasar, Lampung, Batam, Malang dan sebagainya) baik yang berafiliasi dengan YLKI maupun yang mandiri, ataupun lembaga konsumen yang mengkhususkan diri pada bidang tertentu misalnya Lembaga Konsumen Kesehatan, Lembaga Konsumen Pendidikan, Masyarakat Transportasi Indonesia, Koalisi Air, Kemitraan Air Indonesia, Komparta, KAPAK, serta tidak ketinggalan DEPERINDAG juga membentuk Direktorat Perlindungan Konsumen yang juga menerima pengaduan konsumen dan sebagai langkah nyata dalam pemberdayaan konsumen.
- D. Simpulan
- Permasalahan hukum yang timbul berkaitan dengan PDAM dapat ditelusuri dari status hukum PDAM dan tanggungjawab PDAM kepada pemerintah dan Konsumen, sedangkan pokok pangkal sengketa antara konsumen air dan PDAM bermuara pada ketidak puasan pelayanan PDAM;
- Penyelesaian sengketa antara konsumen air dan PDAM dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non litigasi
- Langkah pemberdayaan konsumen perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat agar keberadaan UUPK ini memberikan manfaat yang optimal bagi perlindungan hak-hak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Echols, John M. & Hasan Sadily. 1986, Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama
Nasution, AZ. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media
NHT.Siahaan,2005, Pantarei, Jakarta
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Grasindo
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama
Situs Internet
www.deperindag.go.id
Kabar indonesia.com
[1] Pengajar Mata Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.