RSS

Monthly Archives: May 2012

PEMBERDAYAAN KONSUMEN BERKAITAN DENGAN HAK KONSUMEN AIR MINUM (PDAM) DI KOTA MALANG

WORKSHOP PENINGKATAN PELAYANAN KONSUMEN AIR MINUM

KOMISI D

DPRD KOTA MALANG

 

 

PEMBERDAYAAN KONSUMEN  BERKAITAN DENGAN HAK KONSUMEN AIR MINUM (PDAM) DI KOTA MALANG

Oleh :

YULATI, SH.,LLM[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

Makalah ini dipresentasikan d dalam acara workshop dengan Komisi D DPRD Kota Malang, Hotel Pelangi,

Malang, 9 Juli 2008

 

  1. A.   Realita Pelayanan PDAM Di Beberapa Kota Di Indonesia

Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik untuk dicermati, karena masalah konsumen bersinggungan langsung dengan aspek keamanan, kesehatan serta keselamatan manusia serta pelayanan publik. Gambaran buram tentang lemahnya pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan konsumen di Indonesia telah memberi pelajaran bagi bangsa dengan terjadinya kasus-kasus konsumen yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, akan tetapi juga nyawa.

Sebelum undang-undang perlindungan konsumen di berlakukan, ada banyak kasus konsumen yang menyita perhatian publik misalnya kasus bumbu masak Ajinomoto yang ditengarai mengandung babi, kasus pemakaian boraks pada berbagai produk makanan dan kosmetika sejak 1979, pemakaian MSG yang melebihi batas ambang yang di ijinkan pada makanan ringan, kasus biskuit beracun pada tahun 1989 yang menewaskan 29 orang.( NHT Siahaan, 2005: 3-4), akan tetapi setelah di undangkannya UUPK pun kasus-kasus konsumen tetap marak, misalnya kasus susu bubuk bayi yang diduga mengandung bakteri saakaszakii, obat nyamuk yang mengandung racun serta pemakaian formalin, boraks, pewarna tekstil untuk produk makanan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2004 mencatat data pengaduan yang masuk berdasarkan komoditas sebagai berikut:

 

 

 

Data Pengaduan  Konsumen tahun 2004

NO

KOMODITAS

JUMLAH

%

1 Perumahan

76

16.63

2 PLN/Listrik

67

14.66

3 PDAM/Air minum

66

14.44

4 Telepon

54

11.82

5 Bank

38

8.32

6 Elektronik

24

5.25

7 Transportasi

19

4.16

8 Asuransi

17

3.94

 

Kecenderungan yang dicatat oleh YKLI dalam setiap pengaduan adalah buruknya pelayanan publik seperti perumahan, listrik, air dan telpon masih belum bergeser dari 4 besar instansi yang paling sering diadukan sampai saat ini. Buruknya kinerja BUMD khususnya PDAM yang terjadi di beberapa kota di Indonesia berikut ini  terekam dalam artikel dari surat kabar yang menggambarkan sebagai berikut:

Lampung Post ( 19 Juni 2008), Konsumen PDAM Terus Mengeluh

Konsumen PDAM Limau Kunci, Liwa, Lampung Barat, terus mengeluh karena sejak dua bulan lalu air tidak mengalir. Dan, sejauh ini tidak apa upaya mengatasinya meskipun keluhan tersebut sudah disampaikan masyarakat.Yuli (26), ibu rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Pasar Liwa, Balik Bukit, mengatakan air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital. Sayangnya, masyarakat harus mengeluarkan anggaran ekstra karena harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Air PDAM tidak mengalir. Jadi kami harus membeli Yuli mengaku sudah sering mengadukan masalah itu ke PDAM, tapi tidak pernah ada tanggapan. Sejauh ini, kata dia, belum ada pegawai atau staf PDAM yang mengontrol saluran di rumahnya. Bahkan, di daerah sekitar Pasar Liwa sudah bertahun-tahun air bersih tidak mengalir.

 

KOMPAS, 12 Juni 2008,PDAM Kota Semarang Paling Banyak Dikomplain Konsumen Semarang, Meski kerap mendapat sorotan tajam dari masyarakat karena kinerja pelayanannya yang kurang memuaskan, Perusahaan Daerah Air Minum Kota Semarang belum berubah. Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang mencatat, selama tahun 2007 PDAM paling banyak menerima komplain dari masyarakat dibanding instansi dan perusahaan lainnya. Ada lima persoalan yang banyak dikomplain masyarakat terkait pelayanan perusahaan daerah milik Pemerintah Kota Semarang tersebut.

 

Suara Merdeka, Konsumen PDAM Berhak Tuntut Ganti Rugi,PDAM Kabupaten Banyumas harus memberi ganti rugi atau kompensasi kepada pelanggan yang dirugikan akibat macetnya aliran air perusahaan itu sejak Sabtu (18/3). Hingga Senin (21/3) kemarin, kerusakan pipa induk dari jalur Baturraden belum selesai diperbaiki. Akibatnya, pelanggan masih kelabakan untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Pelanggan yang dirugikan sekitar 14.000 yang tersebar di wilayah Kota Purwokerto, Kecamatan Sokaraja, Kalibagor, dan Banyumas.”Karena kejadiannya sudah lebih dari 1×24 jam maka konsumen (pelanggan) berhak menuntut ganti rugi. Itu tidak cukup dengan penyampaian permintaan maaf dari pihak PDAM setelah ada kejadian,” kata Ketua Yayasan Badan Perlindungan Komsumen Nasional (Yabpeknas) Cabang Purwokerto Untung Setio Karsono kemarin kepada Suara Merdeka.

 

Fajar online, 30 Mei 2008, Kinerja PDAM Makassar Buruk,Keputusan pemerintah menghapus bunga utang dan denda Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mendapat sambutan positif dari sejumlah pengamat. Namun, khusus bagi PDAM Makassar, pemutihan itu sulit diperoleh karena kinerjanya yang sangat buruk. Pendapat tersebut dikemukakan tiga pengamat yang dihubungi terpisah, malam tadi. Mereka adalah Bastian Lubis, Koordinator Anti Corruption Committee (ACC) Abraham Samad, dan Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulsel Yudi Raharjo. Banyak faktor yang memicu kinerja buruk PDAM. Salah satunya adalah terjadinya penyimpangan dana. Saya kira PDAM Makassar sarat dengan korupsi. Penyakit ini harus segera diberantas untuk meningkatkan kinerja PDAM,” kata Abraham.Sementara Sekretaris YLK Sulsel Yudi Raharjo, mengatakan, selama ini, pelayanan PDAM kepada konsumen belum memuaskan. Baik dari segi debit air maupun kualitas air yang disuplai ke konsumen. PDAM harus meningkatkan kualitas airnya.“PDAM juga tidak terlalu peduli dengan pengaduan konsumen. Padahal, mereka mestinya responsif. Setiap masukan konsumen harus dihargai. Proses pencatatan meteran juga masih perlu dibenahi. Kadang ada meteran yang harus ditera ulang atau malah diganti,” katanya.

 

Sedangkan data pengaduan di PDAM Malang saat ini, sebagaimana di catat oleh www.kompas.com menyebutkan ada 708 kasus dengan rincian sebagai berikut: 444 kasus (62 %) pengaduan terkait kebocoran air, 130 kasus ( 18 %) karena air tidak mengalir,72 kasus ( 10,16 %) terkait pencatatan pemakaian air yang tiba-tiba meningkat dan lain-lain. Menurut pendapat direktur teknik PDAM Malang, tingkat kebocoran air mencapai 30 % dari total produksi 1300 l/detik. Hal ini disebabkan jaringan pipa yang usang serta rendahnya kualitas seal (pelapis sambungan pipa) sehingga setiap tahun ada kebocoran di 2400 titik.

Banyaknya kritik dan pengaduan atas buruknya pelayanan PDAM, justru tidak menyurutkan pengelola PDAM untuk menaikkan tarif air minum kepada pelanggannya dari waktu ke waktu  dengan alasan PDAM selalu menderita kerugian (Kompas 12 Juni 2007,”YLKI: PDAM Tidak “Fair” Kenaikan Tarif Air Minum Harus Didasarkan Indikator Kepuasan Konsumen”. Situs Combiphar, 12 januari 2006,“YLKI dan Konsumen Air Tolak Kenaikan Tarif PDAM DKI Jakarta”. www.sidoarjokab.go.id “ PDAM punya utang 900 juta pada karyawan, 2007 PDAM menaikkan tarif”.www.pikiran rakyat,” PDAM Kabupaten Garut Akan Menaikkan Tarif Penetapan Sepenuhnya di Tangan Bupati dan DPRD”). PDAM Kota Malang juga tidak ketinggalan untuk menaikkan tarif 18 % pada tahun 2007 dengan alasan untuk pembiayaan pembangunan jaringan di daerah Tasik Madu, Cemoro Kandang dan Madyopuro yang memerlukan dana 11 milyar rupiah.

Sedangkan penilaian konsumen terhadap PDAM terekam dalam tulisan seorang konsumen PDAM Kota Tangerang yang mungkin dapat mewakili ketidak puasan konsumen-konsumen lain sebagai berikut:” PDAM DISAYANGI TAPI TIDAK MENYAYANGI KONSUMEN”

Berbicara masalah PDAM khususnya yang ada di wilayah Tangerang, sesungguhnya merupakan sesuatu yang basi dan nampaknya tak punya efek langsung terhadap perbaikan kualitas pelayanan PDAM. Hal itu dikarenakan begitu banyak kritik masukan yang disampaikan kepada Pengelola PDAM, tapi realitasnya pelayanan yang diberikan masih dibawah standar normal. Akan tetapi, sekalipun demikian, kata orang, lebih baik mengingatkan secara terus menerus, mungkin merupakan cara yang terbaik untuk menyadarkan pihak otorita PDAM. Mungkin suatu saat akan mengalami proses penyadaran secara alamiah. Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat merupakan konsumen pelanggan PDAM. Hal pertama yang kiranya sangat sering dikeluhkan masyarakat yaitu masalah pencatatan meteran yang seringkali tidak dilakukan secara benar dan teratur. Sabagi akibatnya, banyak konsumen yang harus membayar jauh lebih mahal dari seharusnya. Hal itu disebabkan sistem perhitungan debit pemakaian air yang mana, semakin banyak debitnya akan semakin mahal harga per kubiknya. Sementara para tukang catat meteran banyak sekali yang tidak pernah sampai ke tempat konsumen, malainkan hanya mereka-reka jumlah pemakaian. Akitbanya, pada saat yang bersangkutan (pencatat meteran) datang ke lokasi meteran, terkadang debit kubik air yang sudah dipakai, namun tidak tercatat pada bulan-bulan sebelumnya, menumpuk di bulan tertentu. Alhasil, yang terjadi konsumen harus membayar tunggapan debit air pada bulan-bulan sebelumnya. Hal ini tentu sangat merugikan konsumen, apalagi dengan sistem perhitungan debit/kubik air. Semakin banyak kubiknya semakin tinggi harga per kubiknya. Kedua, masalah kualitas air. Seringkali kualitas air yang kurang layak dikonsumsi untuk masak dan minum. Bagi yang berduit, khusus untuk masak dan minum bisa memakai dari air mineral/isi ulang dan msejenisnya. Air PDAM hanya untuk kebutuhan mencuci dan mandi. Namun, bagaimana nasib mereka yang kesulitan dari sisi ekonomi? Ini sesuatu yang tidak manusiawi. Sementara di sisi lain, PDAM selalu memiliki keinginan untuk selalu menaikkan harga/tarif PDAM dengan berbagai alasan. Sesungguhnya konsumen mungkin tidak akan terlalu berkeberatan untuk menerima kenaikan itu kalau saja pihak PDAM meningkatkan pelayanannya dari berbagai sisi. Mudah-mudahan ke depan PDAM tidak hanya memikirkan masalah Profit, namun juga memperhatikan standar pelayanan yang manusiawi agar keuntungan yang diperoleh PDAM menjadi layak dan adil secara moralitas (www.pintunet.com)

 

Fakta-fakta sosial yang merugikan masyarakat tersebut diatas mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak konsumen, kurangnya tanggungjawab pelaku usaha (dalam hal ini adalah PDAM) serta kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kinerja BUMD tersebut.

 

  1. B.   Permasalahan

Beranjak dari fakta-fakta tersebut diatas maka diskusi kali ini akan difokuskan pada permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah pertanggung jawaban PDAM terhadap  pemerintah dan konsumen
  2. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang bisa diajukan oleh konsumen jika konsumen mengalami kerugian
  3. Langkah-langkah apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memberdayakan konsumen air di kota Malang

 

  1. C.   Alternatif Pemecahan Masalah
    1. 1.   Pertanggung jawaban PDAM terhadap  pemerintah dan konsumen

Berbicara tentang pertanggungjawaban hukum bagi PDAM maka kita perlu mencermati dulu status hukum dari PDAM itu sendiri. Berbeda dengan BUMN lain misalnya PT PLN, PT Kereta Api, PT Perhutani, Perum Jasa Tirta , Perum BULOG dan peusahaan milik negara lainnya yang jelas-jelas tunduk pada UU 19/ 2003 tentang BUMN.

Sedangkan untuk perusahaan daerah seperti PDAM sampai saat ini memang belum ada Undang-Undang yang secara khusus membahas tentang Perusahaan Daerah. Badan usaha milik negara (dalam hal ini pemerintah daerah) secara implisit tunduk pada ketentuan UU 19 / 2003 tentang BUMN.  Dalam penjelasan UU 19/2003  bagian VII disebutkan bahwa sifat usaha BUMN, yaitu untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan kemanfaatan umum, dalam Undang-undang ini BUMN disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) yang bertujuan memupuk keuntungan dan Perusahaan Umum (Perum) yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan usaha sebagai implementasi kewajiban pemerintah guna menyediakan barang dan jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Untuk bentuk usaha Perum, walaupun keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan umum, namun demikian sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu Perum harus diupayakan juga untuk mendapat laba agar bisa hidup berkelanjutan. Oleh karena itu, PDAM yang kualifikasinya sangat mirip dengan Perum, harus menjalankan kegiatannya demgan  mengutamakan prinsip good corporate  governance (tata kelola perusahaan yang baik) secara konsisten sebagaimana badan layanan publik lainnya. Keputusan Menteri BUMN 117/ 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada BUMN, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa :

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang dimaksud dalam Keputusan ini meliputi:

a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan;

b. kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;

c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;

d. pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;

e. kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penerapan prinsip good corporate governance adalah:

a. memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional;

b. mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ;

c. mendorong agar Organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN; d. meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;

e. meningkatkan iklim investasi nasional; f. mensukseskan program privatisasi.

 

Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, antar wilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. PDAM sebagai perusahaan daerah satu-satnya yang melayani kebutuhan air bagi masyarakat juga tunduk pada ketentuan UU  7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air:

 

Pasal 45

(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.

(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai

hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah.

(3) Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.

(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:

a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;

b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau

c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan

yang ditentukan dalam perizinan.

Pasal 46  menyatakan :

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaansumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).

(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan

alokasi air sementara.

Pasal 47

(1) Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:

a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber

daya air; dan

b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin

pengusahaan sumber daya air.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan

masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

(4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.

(5) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong

keikutsertaan usaha kecil dan menengah.

Dengan demikian, sebagai perusahaan milik pemerintah daerah PDAM Malang  bertanggungjawab secara langsung kepada kepala daerah, dalam hal ini adalah walikota Malang, karena secara prinsipiil kepala daerah lah yang memiliki kewenangan untuk mengatur pengelolaan sumber daya air, hal ini juga didukung ketentuan pasal 25,26,27 UU 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan secara rinci wewenang dan tugas kepala daerah termasuk walikota.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban PDAM terhadap konsumen, maka status PDAM adalah pelaku usaha dan secara otomatis tunduk pada ketentuan UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 6 Undang-undang no 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut adalah:

  1. a.    Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
  2. b.    Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. c.    Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. d.    Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
  5. e.    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

Sedangkan kewajiban pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 7 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah:

  1. a.    Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. b.    Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
  3. c.    Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. d.    Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku;
  5. e.    Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau barang yang diperdagangkan;
  6. f.     Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  7. g.    Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 

Selain itu ada berbagai macam perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang terhadap pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 8 sampai dengan pasal 16 UUPK yang pada dasarnya merupakan rambu-rambu bagi pelaku usaha agar menjalankan usahanya dengan jujur dan bermartabat serta tidak merugikan konsumen. UUPK juga membebankan kewajiban bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 19 UUPK sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

 

Ketentuan-ketentuan bagi pelaku usaha di dalam UUPK merupakan bentuk nyata pertanggungjawaban bagi pelaku usaha terhadap konsumen.

Selain tunduk pada UUPK, PDAM dalam menjalankan tugas pelayanan kepada konsumennya, terutama berkaitan dengan alat ukur yang dipakai untuk menentukan jumlah air yang disalurkan ke rumah konsumen, maka PDAM  juga tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

Pasal 12  UU 2 tahun 1981menyatakan:

Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang :

a. Wajib ditera dan ditera ulang;

b.dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya;

c. syarat-syaratnya harus dipenuhi.

Mengenai wajib tera dan tera ulang dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1985  tentang Wajib Dan Pembebasan Untuk Ditera Dan/Atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, Dan Perlengkapannya (UTTP).

Pasal 1 PP 2/1985 menyatakan

Yang dimaksud dengan :

1.Alat ukur, alat takar, alat timbang, dan perlengkapannya adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981,selanjutnya disingkat UTTP;

2. Wajib ditera adalah suatu keharusan bagi UTTP untuk ditera;

3. Wajib ditera ulang adalah suatu keharusan bagi UTTP untuk ditera ulang.

 

PP tersebut diatas diperkuat lagi dengan Lampiran VIII Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No: 61/MPP/Kep/2/1998 tentang Penyelenggaraan Kemetrologian. Jangka waktu tera ulang untuk UTTP sebagai berikut:

1. Meter KWH 1 phase jangka waktu tera ulang 10 tahun;

2. Meter KWH 3 phase jangka waktu tera ulang 10 tahun;

3. Meter Air jangka waktu tera ulang 5 tahun

 

  1. 2.   Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pada umumnya, Ada lima persoalan yang banyak dikeluhkan masyarakat terkait pelayanan PDAM di Indonesia yaitu: aliran yang sering mati, tagihan kedaluwarsa, pencatatan air yang tak sesuai dengan kenyataan, kualitas air yang kurang jernih dan higienis, serta layanan administrasi yang kerap kali tidak tanggap terhadap keluhan pelanggan. Satu hal lagi yang juga sering dikeluhkan adalah kenaikan tarif progresif setiap tahun yang seringkali tidak disertai dengan peningkatan mutu pelayanan yang prima.(www.kompas.com) Persoalan-persoalan tersebut diatas merupakan pokok sengketa yang timbul antara PDAM dan konsumen.

Di dalam UUPK telah diatur mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara Pelaku usaha dan konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 58 UUPK. UUPK pada dasarnya memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk memulihkan haknya. Penyelesaian sengketa ini bisa dilakukan melalui jalur litigasi atau peradilan dengan mengajukan gugatan perdata biasa( pasal 45) atau mengajukan gugatan kelompok (class action)( pasal 46), serta mengajukan tuntutan pidana biasa (pasal 45 ayat 3). Sedangkan penyelesaian diluar pengadilan bisa dilakukan  untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.(pasal 47) ataupun penyelesaian sengketa melalui BPSK.

Gugatan dengan cara class action atau gugatan kelompok memang dimungkinkan dalam UUPK serta Undang-undang lain yang menyangkut kepentingan publik misalnya UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41 /1999 tentang Kehutanan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan kelompok dijabarkan dalam SEMA 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Syarat utama yang harus dipenuhi dalam gugatan kelompok ini adalah : ( NHT Siahaan, 2005:239)

  1. 1.    Numerosity

Yaitu jumlah yang berhak menjadi penggugat sangat banyak sehingga sangat tidak praktis dan tidak efisien jika masing-masing penggugat mengajukan gugatannya sendiri

  1. 2.    Commonality

Yaitu adanya kesamaan fakta  hukum diantara para pihak

  1. 3.    Typicality

Yaitu tuntutan (bagi pihak penggugat) maupun pembelaan( bagi pihak tergugat) dari seluruh anggota yang diwakili harus jelas

Gugatan kelompok  pernah dilakukan oleh Eksponen 66 Sumatera Utara  melawan APHI ( Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) yang menyebabkan kebakaran hutan, Kelompok Pemakai Anti Kenaikan LPG( KAMPAK) melawan PT Pertamina, YLKI dalam gugatan melawan PT PLN karena pemadaman listrik di wilayah Jawa Bali, YLKI melawan PT Telkom atas penentuan tarif yang tidak fair, YLKI melawan PT PALYJA JAYA karena buruknya kualitas air yang diterima pelanggan,  Komparta ( Komunitas Pelanggan air Jakarta) melawan Pemerintah DKI Jakarta berkaitan dengan kenaikan tarif air sampai 40 %.

Sedangkan hak gugat, dalam UUPK juga diperluas tidak hanya perorangan atau kelompok yang menderita kerugian akan tetapi hak gugat juga diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewakili kepentingan konsumen. Hak gugat bagi LSM ini biasa disebut dengan standing law atau di Indonesia dikenal dengan legal standing. Dalam hal ini LSM yang pertama kali menggunakan standing lawnya adalah WALHI melawan PT Indo Rayon Inti Porsea, walaupun gugatan tersebut dikalahkan dengan alasan WALHI tidak mewakili kepentingan korban pencemaran dari PT Indo Rayon Inti.

Ada 3 hal yang menjadi syarat agar LSM memiliki hak menggugat :

  • berbentuk badan hukum
  • Anggaran Dasarnya secara jelas menyebutkan melindungi kepentingan konsumen
  • telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan Anggaran Dasarnya

Dalam sengketa konsumen pasca berlakunya UUPK, maka penggunaan legal standing dari LSM biasanya di gunakan dengan gugatan kelompok, sebagaimana dilakukan oleh YLKI melawan PT PLN dan YLKI melawan PT Pertamina. Hal ini juga dilakukan oleh KOMPARTA melawan Pemda DKI serta Koalisi Air yang mengajukan judisial review terhadap UU 7/2004 tentang  Sumber Daya Air.

 

  1. 3.   Langkah-Langkah Pemberdayaan Konsumen Air Minum Di Kota Malang

Implementasi penyelenggaraan Perlindungan Konsumen yang telah memasuki tahun ke 8 (delapan) sejak diberlakukannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tahun 2000. Penerapannya secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat/ Konsumen. Hal ini disebabkan beberapa hal  antara lain : Pertama, Sosialisasi Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berikut peraturan pelaksanaannya belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat Repulik Indonesia tercinta yang secara geografis tinggal di beberapa kepulauan yang sulit dijangkau.Kedua, Sebagian besar Konsumen, Pelaku Usaha, Aparat Pembina dan Aparat Penegak hukum belum mengetahui dan mamahami manfaat dan pentingnya Perlindungan Konsumen, Khususnya yang terkait dengan Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha serta perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab Pelaku Usaha sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Ketiga, Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga UUPK ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat /Konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas Hak-haknya sebagai konsumen seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut. Berkenaan dengan kondisi yang sepeti tersebut diats maka langkah penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah bersinergi dengan masyarakat adalah melakukan pemberdayaan.

Mochtar Mas’oed, sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso ( www. Multiply.com) menjabarkan tiga konsep pemberdayaan masyarakat yaitu:

  1. 1.    Enabling

Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang, dengan jalan memotivasi atau memberikan dorongan dan meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya.

  1. 2.    Empowering

Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan langkah nyata yaitu membuka akses dan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan haknya

  1. 3.    Protecting

Artinya upaya pemberdayaan masyarakat dengan cara melindungi kepentingan yang lemah dari tindakan sewenang-wenang pihak yang lebih kuat.

Ketiga konsep ini akan sangat sesuai jika dikaitkan dengan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah dimana gagasan besar reformasi adalah meningkatkan pemberdayaan masyarakat sebagai variabel kunci suksesnya pelaksanaan otonomi daerah, yang semuanya itu bermuara pada pengurangan jumlah penduduk miskin, peningkatan mutu pendidikan dan perbaikan derajat kesehatan.

Dalam konteks perlindungan konsumen, ketiga konsep pemberdayaan ini sangat mungkin dilakukan baik oleh Pemerintah, PDAM, LSM dan masyarakat sebagai konsumen PDAM di kota Malang. Hal yang cukup responsif yang telah dilakukan oleh PDAM kota Malang sebagaimana dalam situs resmi http://www.perpamsi.org/pdam_malang adalah membuka layanan pengaduan 24 jam baik melalui telpon maupun email, ketersedian informasi yang jelas tentang tarif dan standar layanan yang diterapkan kepada pelanggan termasuk kemudahan pembayaran rekening tagihan secara online, akan tetapi tidak ada jaminan pemulihan hak ataupun ganti rugi bagi konsumen apabila PDAM tidak memenuhi atau melanggar standar layanan yang telah ditetapkan.

Di dalam UUPK, ada lembaga-lembaga yang berperan dalam pemberdayaan konsumen yang pertama,  yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur dalam Pasal 31-43 UUPK dengan fungsi utamanya memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Yang kedua, yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sebagaimana diatur dalam pasal 44 UUPK. Akan tetapi sayangnya sampai saat ini tidak prnah terdengar kiprah dari dua lembaga yang dibentuk pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat. Sedangkan kepentingan konsumen lebih banyak disuarakan oleh LSM yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan perkembangan LSM seperti ini semakin hari semakin banyak baik jenis dan jumlahnya misalnya Lembaga Perlindungan Konsumen yang banyak didirikan di kota-kota di Indonesia ( Medan, Padang, Palembang, Surabaya, Semarang, Makasar, Lampung, Batam, Malang dan sebagainya) baik yang berafiliasi dengan YLKI maupun yang mandiri, ataupun lembaga konsumen yang mengkhususkan diri pada bidang tertentu misalnya Lembaga Konsumen Kesehatan, Lembaga Konsumen Pendidikan, Masyarakat Transportasi Indonesia, Koalisi Air, Kemitraan Air Indonesia, Komparta, KAPAK, serta tidak ketinggalan DEPERINDAG juga membentuk Direktorat Perlindungan Konsumen yang juga menerima pengaduan konsumen dan sebagai langkah nyata dalam pemberdayaan konsumen.

  1. D.   Simpulan
    1. Permasalahan hukum yang timbul berkaitan dengan PDAM dapat ditelusuri dari status hukum PDAM dan tanggungjawab PDAM kepada pemerintah dan Konsumen, sedangkan  pokok pangkal sengketa antara konsumen air dan PDAM bermuara pada ketidak puasan pelayanan PDAM;
    2. Penyelesaian sengketa antara konsumen air dan PDAM dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non litigasi
    3.  Langkah pemberdayaan konsumen perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat agar keberadaan UUPK ini memberikan manfaat yang optimal bagi perlindungan hak-hak konsumen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta

 

Echols, John M. & Hasan Sadily. 1986, Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama

 

Nasution, AZ. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media

 

NHT.Siahaan,2005, Pantarei, Jakarta

 

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Grasindo

 

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta

 

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama

 

Situs Internet

www.kompas.com

www.suaramerdeka.com

www.lampungpost.com

http://www.fajaronline.com

www.pintunet.com

www.combiphar.com

www.koalisiair.org

www.kemitraanair.org

www.ylki.org

www.ylkbatam.org

www.sidoarjokab.go.id

www.malangkota.go.id

www.perpamsi.org/pdam_malang

www.deperindag.go.id

Kabar indonesia.com

http://www.multiply.com


[1] Pengajar Mata Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

 
1 Comment

Posted by on 4 May 2012 in pelatihan

 

Tags: , , , ,

PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

 

WORKSHOP TENTANG PENINGKATAN PELAYANAN UMUM

KOMISI D

DPRD KOTA MALANG

 

PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

OLEH:

YULIATI, SH., LLM

yuliaticholil@ub.ac.id

Makalah ini disampaikan dalam workshop diselenggarakan oleh Komisi D DPRD Malang, Hotel Pelangi, Malang, 24 April, 2008.

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2008

 

 

 

  1. A.    LATAR BELAKANG

Energi listrik merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Sampai saat ini, penyediaan energi listrik di Indonesia masih dikelola oleh suatu Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. PLN (Persero). PT. PLN (Persero) sebagai satu-satunya perusahaan penyedia listrik, sampai saat ini belum mampu memberikan pelayanan yang seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepada pelanggan atau konsumen, selama ini pelanggan selalu dituntut untuk memenuhi kewajiban membayar tagihan listrik tepat waktu. Jika tidak akan dikenai sanksi baik berupa denda maupun pemutusan arus listrik. Dilain pihak PT. PLN (Persero) tidak memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan.

Peristiwa pemadaman listrik secara sepihak oleh PT PLN (Persero) terjadi di wilayah Jabotabek pada 12 September 2002 dan memadamkan aliran listrik sekitar 4,5 juta pelanggan[1] selama lebih dari 24 jam menimbulkan kebakaran di 13 tempat dan dari sektor industri, kerugian mencapai milyaran rupiah[2]. Kejadian tersebut juga menyebabkan terganggunya layanan kereta api dan menyebabkan penumpukan calon penumpang di stasiun-stasiun. Dalam hal ini yang sangat dirugikan adalah masyarakat yang akan menggunakan jasa angkutan kereta api[3].

Peristiwa padamnya listrik PLN pada hari Jum’at tanggal 19 Februari 1999 di pulau Madura yang terjadi selama kurang lebih satu bulan disebabkan tertariknya kabel bawah laut oleh jangkar KM KOTA INDAH berpotensi membawa dampak sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang serius.

Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh PLN bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Bangkalan, Madura tentang dampak ekonomi dan sosial masyarakat selama aliran listrik PLN padam menunjukkan :[4]

•  Meningkatnya biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk penerangan.

Golongan tarip Rl meningkat 83.4 %, golongan tarip R2, 28.0 % dan golongan tarip S1/S2 naik sekitar 101,2%.  Secara rata-rata meningkat sekitar 54.1 %.

Sektor usaha/industri, mengalami penurunan nilai penjualan sebesar 12 % dan peningkatan biaya produksi sebesar 6.1 %.  Maka pendapatan bersih menurun sekitar 24.7 %.

• Pondok pesantren adalah pihak yang paling merasakan dampak padamnya listrik karena harus merubah pola kegiatan yang biasa dilakukan malam hari.  Dampak negatif lainnya adalah penurunan prestasi belajar siswa/siswi sekolah maupun santri di pondok pesantren.

Menurut Tini Hadad selaku Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, masyarakat Madura dapat menuntut ganti rugi kepada PT PLN atas padamnya aliran listrik di pulau itu selama satu bulan. [5]

Dalam menghadapi kasus-kasus diatas ternyata pelanggan tidak mendapat pertanggungjawaban yang memuaskan dari PT. PLN (Persero) atas hak-hak yang seharusnya didapat. Misalnya dalam hal melakukan pengaduan, pelanggan kurang mendapat respon yang memuaskan.

Pada masa sekarang ini, dimana tuntutan akan dijalankannya prinsip good corporate governance semakin kuat seharusnya PT. PLN (Persero) dapat meningkatkan pelayanannya pada masyarakat. Prinsip-prinsip good corporate governance seperti partisipasi publik, transparansi, penegakan hukum dan akuntabilitas publik harus dapat dipenuhi oleh PT. PLN (Persero). Akuntabilitas publik bukan pada atasan atau pejabat publik, tetapi pada costumer (pelanggan). Profesionalitas sangat dibutuhkan dalam memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Seseorang yang memiliki akuntabilitas tinggi akan mengarahkan organisasinya untuk memberikan kepuasan maksimal kepada pelanggan dan memenuhi kebutuhan pelanggan.[6]

Dengan adanya ketentuan kenaikan tarif listrik secara periodik setiap tiga bulan sekali[7], sampai akhir 2004 untuk menghapus subsidi seharusnya PT. PLN (Persero) mampu memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan.

Sebagai suatu perusahaan publik, PT. PLN (Persero), seharusnya mampu memberikan pelayanan kepada publik karena sampai saat ini penyediaan energi listrik masih dimonopoli oleh PT. PLN (Persero).

 

  1. B.     PERLINDUNGAN HUKUM

Eksistensi hukum dalam  masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pengaturan kepentingan-kepentingan ini seharusnya didasarkan pada keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi kepentingan masyarakat. Tatanan yang diciptakan hukum baru menjadi kenyataan manakala subyek hukum diberi hak dan kewajiban. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin dalam kewajiban pada pihak lawan, hak dan kewajiban inlah yang diberikan oleh hukum.[8]

Perlindungan hukum menurut pendapat Phillipus Hadjon ada dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat yaitu: Pertama, perlindungan hukum Preventif artinya rakyat diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua, perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan sengketa.[9] Konsep awal perlindungan hukum sangat terkait dengan pemerintah dan tindak pemerintah sebagai titik sentralnya, sehingga lahirnya konsep ini dari perkembangan hukum administrasi negara-negara barat.

Dengan tindakan pemerintah sebagai titik sentral, dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu:[10]

  1. Perlindungan Hukum  Preventif.

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dangan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi. Di Indonesia belum ada pengaturan secara khusus mengenai sarana perlindungan hukum preventif.

  1. b.       Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk katagori perlindungan hukum ini.

 

  1. C.    PENGERTIAN HAK, KEWAJIBAN DAN KEDUDUKAN KONSUMEN
    1. 1.   Pengertian Konsumen

Secara harfiah konsumen berarti setiap orang yang menggunakan barang dan atau jasa. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika) atau Consument/ (Belanda). Pengertian dari Consumer atau Consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada.[11] Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia Consumer berarti pemakai atau konsumen.[12]

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, pengertian konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan[13]. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali[14].

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.

Pengertian Konsumen dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tersebut diatas memenuhi beberapa unsur, yakni:[15]

  1. a.      Setiap Orang

Subyek yang disebut konsumen adalah orang yang berstatus pemakai barang dan atau jasa namun tidak terbatas pada orang dalam artian natuurlijke persoon, melainkan juga badan hukum atau recht persoon.

  1. b.      Pemakai

Yang dimaksud pemakai adalah pihak yang merupakan konsumen akhir (ultimate consumer) yang menunjukkan bahwa barang dan atau jasa, tidak setelah hasil dari transaksi jual beli atau dapat diartikan bahwa hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual.

  1. c.       Barang dan atau Jasa

Barang dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

  1. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat harus tersedia di pasaran, namun pada saat ini untuk jenis transaksi tertenstu syarat tersebut sudah tidak utama.

  1. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.

Perumusan ini adalah untuk memperluas kepentingan yakni bahwa setiap tindakan manusia didasari oleh kepentingan.

  1. Barang dan atau Jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Batasan ini sudah dipakai dalam berbagai negara untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka perlu adanya batasan-batasan tentang konsumen yaitu:[16]

  1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
  2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
  3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunnakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur  perlindungannya dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen tersebut.

  1. 2.   Hak dan Kewajiban Konsumen

Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen sangat sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai “harga” dan “barang dan atau jasa” tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.[17] Agar suatu perjanjian tersebut sah maka perjanjian tersebut harus memenuhi empat unsur yang telah ditetapkan dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Selanjutnya dalam pasal 1338 KUH Perdata ditegaskan bahwa semua perjanjian yag dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya selama ada kesepakatan antara para pihak mengenai harga atas barang dan/ atau jasa antara konsumen dan pelaku usaha maka perjanjian tersebut mengikat kecuali terdapat kekhilafan atau penipuan atas diri konsumen.

Dalam pidatonya pada tanggal 15 maret 1962 mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, pernah mengemukakan empat hak dasar konsumen yaitu:[18]

  1. The Right to Safe Product (Hak untuk memperoleh keamanan).
  2. The Right to be Informed about Product (Hak untuk mendapatkan informasi).
  3.  The Right to be Definite Choices in Selecting Product (Hak untuk  memilih).
  4.  The Right to be Heard Regarding Consumer Interest (Hak untuk didengar).

Kemudian dalam Resolusi PBB No 39/ 248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Giudelines for Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, meliputi:

  1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
  2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi, sosial konsumen Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.
  3. Pendidikan Konsumen
  4. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
  5. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau orang lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Sedangkan dalam pasal 4 Undang-Undang No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak konsumen, antara lain:

a)      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;

b)      Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c)      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;

d)      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan;

e)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f)        Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, gantirugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i)        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

Dari sembilan butir hak konsumen yang termuat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, terlihat bahwa masalah kenyamanan, kemanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.

Selain mengatur tentang hak-hak konsumen Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban konsumen yang harus diperhatikan pula oleh konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No 8 Tahun 1999, antara lain:

  1. a.   Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. b.   Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa;
  3. c.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;
  4. d.   Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
    1. 3.   Kedudukan Konsumen

Ada tiga asas yang berkembang sejalan dengan perkembangan hukum Perlindungan Konsumen tentang kedudukan konsumen. Asas tersebut antara lain:[19]

  1. a.      Let The Buyer Beware

Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang sama atau memiliki kedudukan yang sejajar sehingga tidak diperlukan proteksi apapun.

  1. b.      The Due Care Theory

Asas ini menyebutkan bahwa pelaku usaha punya kewajiban untuk berhati-hati dalam mengedarkan produknya, dengan asumsi bahwa pelaku usaha lebih tahu apa yang ada dalam produknya dibandingkan dengan konsumen.

  1. c.       The Privity of Contract

Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha punya kewajiban untuk melindungi konsumen sepanjang ada perjanjian.

 

D. PELAKU USAHA DAN PRINSIP – PRINSIP TANGGUNG JAWAB

1. Pengertian Pelaku Usaha

Menurut pasal 1 angka 3 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Yang dimaksud pelaku usaha dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain[20]. Termasuk juga PT PLN Persero sebagai BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum.

  1. 2.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 6 Undang-undang no 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut adalah:

  1. a.      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
  2. b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. d.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
  5. e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

Untuk kewajiban pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 7 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah:

  1. a.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. b.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
  3. c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. d.      Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku;
  5. e.       Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau barang yang diperdagangkan;
  6. f.        Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  7. g.      Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

3.   Prinsip- Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dengan melihat prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha maka kita dapat melihat posisi konsumen dan pelaku usaha secara proporsional. Prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha antara lain :[21]

  1. a.      Prinsip Fault in Liability (Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan)

Prinsip ini merupakan doktrin hukum yang umum artinya dipegang teguh dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata prinsip ini terkait dengan pasal 1365 KUH Perdata yaitu untuk membuktikan hak harus ada perbuatan, kesalahan, kerugian dan hubungan kausalitas.

  1. b.     Presumption of Liability

Yaitu prinsip pra duga untuk selalu bertanggung jawab. Esensi dari prinsip ini adalah pelaku usaha dianggap selalu bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

  1. c.     Presumption of Non Liability

Yaitu prinsip untuk tidak selalu bertanggung jawab. Prinsip ini dianut secara sangat terbatas dalam hukum pengangkutan

  1. d.     Strict Liability

Prinsip tanggung jawab yang ketat yaitu:

1)      Bahwa kesalahan ini bukan merupakan faktor yang menentukan kecuali hanya force major saja.

2)      Konsumen apabila ada kerugian hanya perlu menunjukkan hubungan kausalitas, berarti ada hubungan perjanjian.

Esensi penerapan prinsip ini adalah:

1)                  Posisi konsumen yang lemah.

2)                  Asas ini memaksa pelaku usaha untuk selalu berhati-hati.

 

  1. e.    Limitation of Liability

Limitation of Liability merupakan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Pada prinsip ini ada klausula eksonerasi sehingga pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawab

 

E.KEDUDUKAN PLN SEBAGAI BUMN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONSUMEN

1. Kedudukan PT. PLN Persero sebagai Badan Usaha Milik Negara

Sampai saat ini PT PLN Persero merupakan satu-satunya badan usaha milik negara yang menyediakan pasokan tenaga listrik bagi rakyat Indonesia. PT. PLN Persero yang berkedudukan sebagai badan usaha milik negara merupakan badan usaha yang oleh pemerintah diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Hal tersebut seperti termuat dalam pasal 7UU 15 tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan juncto pasal 3 ayat 1 dan 13 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik menyatakan bahwa dalam hal koperasi, swasta, dan BUMN atau lembaga negara lainnya selaku Pemegang Usaha Ketenagalistrikan  dari BUMN yaitu PLN.

Dasar hukum tentang kedudukan PT. PLN Persero sebagai Badan Usaha Milik Negara juga diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan.

2. Hubungan PT. PLN Persero dengan Pelanggan atau Konsumen

Hubungan antara PT. PLN Persero dengan pelanggan atau konsumen dapat terjadi dengan adanya kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pola hubungan tersebut diatur dalam pasal 25 Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1985 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, yaitu :

Pasal 25 (Hak pelaku Usaha)

(1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha

Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan

tenaga listrik diberi hak untuk :

a. memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh

masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat

sambungan tenaga listrik;

b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan listrik oleh pemakai;

c. mengambil tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik

secara tidak sah.

(2) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha

Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab

atas bahaya terhadap kesehatan, nyawa, dan barang yang timbul

karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan

peruntukannya atau salah dalam pemanfaatannya.

(3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha

Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan

tenaga listrik wajib :

a. memberikan pelayanan yang baik;

b. menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu

dan keandalan yang baik;

c. memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik;

d. bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap

nyawa, kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaiannya.

Sedangkan hak dan kewajiban masyarakat sebagai konsumen listrik diatur dalam pasal 26 PP 10 tahun 1989 sebagai berikut:

(1) Masyarakat di daerah usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum berhak mendapat tenaga listrik yang disediakan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha

Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang bersangkutan.

(2) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai hak untuk :

a. mendapat pelayanan yang baik;

b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan

keandalan yang baik;

c. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan

tenaga listrik.

(3) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai kewajiban :

a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin

timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;

b. menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan;

c. menggunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya.

(4) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik bertanggungjawab

karena kesalahannya mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kuasa

Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan

Untuk Kepentingan Umum.

 

F. KETENTUAN  PERTANGGUNGJAWABAN DAN SANKSI  DALAM UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN    

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) jenis sanksi, yakni sanksi administratif, sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan.

Sanksi administratif ditentukan dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif yaitu yang berupa ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sehingga kewenangan ada pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), bukan pada pengadilan. Sanksi administrasi tersebut dapat dijatuhkan terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap :

  1. a.      Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan[22].
  2. b.      Pasal 20, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas iklan yang menyesatkan yang diproduksi dan segala akibat yang timbul dari iklan tersebut.
  3. c.       Pasal 25, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas tidak disediakannya suku cadang dan/atau jaminan atau garansi atau fasilitas perbaikan kepada konsumen.
  4. d.      Pasal 26, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi akibat pelaku usaha tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.

Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana sanksi yang dapat dijatuhkan adalah :

  1. 1.      Pelanggaran terhadap :
    1.                               a.      Pasal 8, yaitu tentang barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan;
    2.                               b.      Pasal 9 dan Pasal 10,yaitu mengenai promosi atau iklan atau informasi suatu barang dan/atau jasa yang tidak benar;
    3.                                c.      Pasal 13 ayat (2), yaitu tentang penawaran obat-obatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan;
    4.                               d.      Pasal 15, yaitu tentang penawaran suatu barang dan/atau jasa dengan cara paksaan baik secara fisik maupun psikis;
    5.                                e.      Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, yaitu mengenai iklan yang memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;
    6.                                 f.      Pasal 17 ayat (2), yaitu tentang peredaran iklan yang dilarang;
    7.                               g.      Pasal 18, yaitu mengenai pencantuman klausula baku;

dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

  1. 2.      Pelanggaran terhadap :
    1. a.      Pasal 11, yaitu mengenai penjualan dengan cara obral atau lelang yang menyesatkan;
    2. b.      Pasal 12, yaitu mengenai penawaran dengan tarif khusus dimana pelaku usaha tidak bermaksud untuk melaksanakannya;
    3. c.       Pasal 13 ayat (1), yaitu mengenai penawaran barang dan/atau jasa dengan janji pemberian hadiah secara cuma-cuma;
    4. d.      Pasal 14, yaitu mengenai penawaran barang dan/atau jasa dengan memberikan hadiah melalui cara undian;
    5. e.       Pasal 16, yaitu mengenai penawaran barang dan/atau jasa melalui pesanan;
    6. f.        Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, yaitu mengenai produksi iklan yang bertentangan dengan etika, kesusilaan, dan ketentuan hukum yang berlaku;

dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  1. 3.      Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana secara umum[23].

Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merumuskan adanya pidana tambahan yang dapat dijatuhkan. Sanksi pidana tambahan tersebut antara lain berupa :

  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran;
  6. pencabutan izin usaha.

 

 

G.SIMPULAN

1)      Konsumen listrik memiliki hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam pasal 4 UUPK dan Pasal 26 UU 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

2)      PLN sebagai BUMN termasuk dalam pelaku usaha yang juga tunduk dengan ketentuan-ketentuan tentang kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK

3)      Hubungan hukum yang terjadi antara Konsumen listrik dan PLN tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 15 tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan.

4)      Ketentuan-ketentuan tentang sanksi administratif maupun sanksi pidana pokok dan atau pidana tambahan dalam UUPK juga berlaku bagi PLN sebagai pelaku usaha.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta

 

Echols, John M. & Hasan Sadily. 1986, Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama

 

Nasution, AZ. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media

 

Phillipus. M. Hadjon,2006, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina ilmu, Surabaya

 

Purwanto, Agus J. 2002, Transformasi Demokrasi dan Perbaikan Pelayanan Publik, Jakarta, Universitas Terbuka

 

Satriya,Adhi., 6 Maret 1999. Studi Kasus Padamnya Listrik di Pulau Madura (Corporate Social Responsibility),PT PLN Jasa Pendidikan dan Pelatihan, http://www.pln-jatim.co.id

 

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Grasindo

 

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta

 

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama

 

 

Situs Internet

Metro, 12 September 2002, Pemadaman Sebabkan Kerugian,http://www.kompas.com

 

Tempo Interaktif, Jakarta 13 September 2002, Pemadaman Sebabkan Kebakaran,  www.kompas.com

 

Kompas, 21 Agustus 2002.Kenaikan Tarif Dasar Listrik Belum Memberikan pelayanan Memuaskan, http://www.kompas.com

 

 


      [1] Metro, 12 September 2002, Pemadaman Sebabkan Kerugian,http://www.kompas.com

      [2]Tempo Interaktif, Jakarta 13 September 2002, Pemadaman Sebabkan Kebakaran,  www.kompas.com

      [3] Ibid.

      [4] Satriya,Adhi., 6 Maret 1999. Studi Kasus Padamnya Listrik di Pulau Madura (Corporate Social Responsibility),PT PLN Jasa Pendidikan dan Pelatihan, http://www.pln-jatim.co.id/v5/entry-berita/baca-media.asp?varkode=331

      [5] Media Indonesia,28 Februari 1999.Atas Nama masyarakat, YLKI akan Menuntut (Class Action)PLN akibat Peristiwa Ini,http://www.mediaindonesia-online.com

      [6] Purwanto, Agus J. 2002, Transformasi Demokrasi dan Perbaikan Pelayanan Publik, Jakarta, Universitas Terbuka, hal.7

      [7] Kompas, 21 Agustus 2002.Kenaikan Tarif Dasar Listrik Belum Memberikan pelayanan Memuaskan, http://www.kompas.com

[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.40

[9] Phillipus. M. Hadjon, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina ilmu, Surabaya, 2006, h.5

[10] Ibid., h.206

     [11] Nasution, AZ. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, hal. 3

     [12] Echols, John M. & Hasan Sadily. 1986, Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama, hal. 124

      [13] Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama, hal. 5

      [14] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, h.4 dalam Nasution, AZ. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, hal. 10

      [15] Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Grasindo, hal. 4

      [16] Nasution, AZ., Op.Cit, hal 13

      [17] Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 25

      [18] Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo. 2004, Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal.39

      [19] Shidarta, Op.Cit, hal 50-52

      [20] Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

    [21] Shidarta, Op.Cit, hal 59-64

 

[22] Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 274

[23] Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Op.Cit ; hal.86

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in pelatihan

 

Tags: ,

SOLUSI TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER ( COMPUTER PROGRAMS) DI INDONESIA

WORKSHOP

KOMISI D  DPRD KOTA MALANG

 

SOLUSI TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER ( COMPUTER PROGRAMS) DI INDONESIA

 

 

 

OLEH:

YULIATI, SH., LLM

 

 

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2008

 

SOLUSI TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER(COMPUTER PROGRAMS) DI INDONESIA

OLEH: YULIATI, SH.,LLM[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

 

  1. A.   PENDAHULUAN

Apakah Hak Kekayaan Intelektual itu? Dalam beberapa hal kita tentu sudah mengerti jawaban dari pertanyaan tersebut. Kita tahu bahwa penemu mesin, penulis buku ataupun pemusik memiliki hak atas karya mereka. Dari kepemilikan tersebut konsekuensinya kita tidak dapat seenaknya memperbanyak atau menggunakan apalagi mengkomersialisasikan  karya mereka tanpa mempertimbangkan hak mereka. Sama halnya dengan desainer asli dari mebel, wallpaper ataupun hal-hal sejenis yang sesungguhnya juga dimiliki oleh seseorang atau badan hukum.

Setiap saat kita membeli barang yang dilindungi oleh HKI, sebagian dari kita harus membayar kepada pencipta sebagai kompensasi atas waktu, uang, tenaga dan usaha yang mereka habiskan untuk menghasilkan karya cipta.Hal ini berpengaruh pada perkembangan industri misalnya industri musik tumbuh dan berkembang keseluruh dunia, mendukung timbulnya bakat-bakat baru untuk membuat musik, ide-ide original lebih beragam.

Hak Kekayaan Intelektual atau biasa disingkat HKI adalah padanan kata dari Intellectual Property Rights. Dalam HKI ada dua kategori pengertian, yang pertama adalah pengertian HKI dalam istilah sehari-hari yaitu segala sesuatu yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti ide, invensi, puisi, merek, desain, semi konduktor dan sebagainya. Yang kedua adalah pengertian HKI dalam konsep hukum yaitu seperangkat aturan hukum yang memberikan jaminan hak eksklusif untuk mengekploitasi  HKI dalam jangka waktu tertentu berdasarkan jenis-jenis HKI.[2]

Selama ini pemahaman  HKI secara umum seringkali diartikan secara kurang proporsional karena hanya menekankan pada aspek hak monopoli yang dimiliki oleh pemilik atau pemegang hak atas HKI secara absolut. Pemahaman seperti itu menegasikan konsep dasar HKI bahwa HKI mempunyai fungsi utama untuk memajukan kreativitas dan inovasi yang bermanfaat  bagi  masyarakat secara luas sedangkan hal cipta secara khusus juga berfungsi sebagai alat unruk memperkenalkan, memperkaya dan menyebarluaskan  kekayaan budaya bangsa [3]. Bahkan salah satu aspek yang melekat pada HKI adalah adanya aspek sosial bagi seluruh jenis HKI kecuali merek, manakala masa perlindungannya habis maka semuanya menjadi milik umum atau public domain.

Pemahaman HKI yang kurang tepat juga berkaitan dengan prasangka bahwa HKI hanya akan menguntungkan negara-negara maju dan menghambat negara-negara berkembang dalam mengakses teknologi dan informasi. Persoalannya sekarang bukan pada akses teknologi dan informasi , akan tetapi kecenderungan yang terjadi di dunia saat ini  adalah adanya persaingan  dagang  yang ketat antara negara yang satu dengan negara lain. Saat ini sudah bukan masanya  lagi bagi Indonesia hanya menggantungkan  pada industri yang berbasis pada sumber daya alam yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Oleh karena itu Indonesia juga harus mengembangkan industri yang berbasis pada kemampuan sumber daya manusia yang kreatif dan innovatif karena industri yang paling besar memiliki peluang untuk bersaing di pasar global salah satunya adalah industri yang berbasis pada HKI.

 

  1. B.   PERLINDUNGAN HKI DI INDONESIA

Perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan dan hak untuk menikmati kekayaan itu dalam waktu tertentu[4]. Artinya selama waktu tertentu pemilik atau pemegang hak atas HKI dapat mengijinkan ataupun melarang orang lain untuk menggunakan karya intelektualnya.

Indonesia sebagai salah satu negara peserta yang meratifikasi perjanjian ini mempunyai kewajiban untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs kedalam sistem hukum HKI Indonesia secara konsisten. Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Pengesahan Paris Convention For The Protecting Of Industrial Property Dan Convention Establishing The World Intellectual Property Organization yang secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris tanpa reservasi artinya Indonesia menerima secara penuh seluruh ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris tanpa kecuali serta meratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Dagang Dunia (WTO).

Ada dua kelompok besar dalam pembagian HKI  yang pertama yaitu : Hak kekayaan Industri (industrial property rights) yang meliputi : Paten, Merek, Desain, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, sedangkan yang kedua adalah Hak Cipta yang memberikan perlindungan untuk karya tulis, karya sastra dan karya seni ( literary and artistic work).

Pranata hukum yang mengatur HKI di Indonesia telah lengkap dan secara efektif telah berlaku, yang didasarkan pada masing-masing obyek HKI sebagai berikut:

  1. UU 30/ 2000 tentang Rahasia Dagang
  2. UU 31/ 2000 tentang Desain Industri
  3. UU 32/ 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  4. UU 14/ 2001 tentang Paten
  5. UU 15/ 2001 tentang Merek
  6. UU 19/2002 tentang Hak Cipta
  7. UU 29/200 tentang Perlindungan Varietas Tanaman

Dari sudut pandang hukum, pembentukan aturan diperlukan agar ada sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman akan tetapi juga dapat menciptakan iklim yang kondusif untuk berkompetisi secara jujur dalam menghasilkan karya-karya yang bermanfaat.

 

 

 

  1. C.   PERKEMBANGAN HAK CIPTA DI INDONESIA
    1. 1.   Pengertian Hak cipta

Pengaturan hak cipta di Indonesia diawali dengan diberlakukannya UU 6/1982 tentang Hak cipta yang kemudian diamandemen sebanyak 3 kali sampai pada berlakunya UU 19/2002 tentang hak cipta. Pasal 1 angka 1 UU 19/2002 menyatakan: “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.

 Hak cipta pada hakekatnya adalah perjanjian antara pencipta dengan pihak lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak  ciptaannya. Konsekuensi logis dari definisi ini adalah:

  • Peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral HKI hanyalah sebagai administrator, akan tetapi tidak menerbitkan atau memberikan hak seperti paten. Hal ini tercermin dalam sistem pendaftaran hak cipta yang bersifat Negatif Deklaratif artinya Setiap orang yang mendaftarkan karya ciptanya dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya;
  • Pendaftaran ciptaan bukanlah suatu keharusan, karena tanpa  pendaftaranpun karya cipta secara otomatis sudah mendapatkan perlindungan hukum (Pasal 2). Adapun cara yang diakui secara internasional sebagai berikut[5]:
  • Untuk karya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra cukup dengan membubuhkan tanda Ó disertai nama pencipta dan tahun penerbitan.
  • Untuk karya rekaman (audio dan audiovisual) dengan membubuhkan tanda P atau N didalam lingkaran disertai tahun penerbitan.
  • Untuk memperkuat pengakuan perlindungan hak cipta dapat ditambahkan maklumat “Todos los derechos reservados” /“All Rights Reversed”[6]

 

 

 

2. Jenis Karya Cipta Yang Dilindungi

Konsep dasar perlindungan hak cipta yang terdapat dalam Konvensi Berne maupun dalam TRIPs mengakui bahwa ciptaan yang layak mendapat perlindungan hukum manakala ciptaan tersebut merupakan ekspresi atau perwujudan dari ide.[7]Selain itu syarat keaslian atau originality dari ciptaan juga harus terpenuhi, artinya ciptaan haruslah mempunyai bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi dari si pencipta. Syarat lain yang harus dipenuhi agar suatu ciptaan dapat diberikan perlindungan hak cipta adalah ciptaan tersebut dalam bentuk yang nyata (bukan hanya gagasan), karya cipta itu dapat dilihat, dibaca ataupun didengar.[8]

 Undang- undang telah menetapkan secara limitatif jenis ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra sebagai berikut (ps.12 UU19/2002):

  1. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  2. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
  6. Seni rupa, dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
  7. Arsitektur;
  8. Peta;
  9. seni batik;
  10. fotogafi;
  11. Sinematografi;
  12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

 

Sedangkan jangka waktu berlakunya hak cipta berdasarkan obyeknya, secara umum adalah selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia kecuali, program komputer, sinematografi, data base dan karya pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Sedangkan hak cipta atas susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertamakali diterbitkan.

3. Hak-Hak Pencipta

Hak Pencipta dan atau pemegang hak cipta dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah mengijinkan atau melarang orang lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya. Hak ekonomi dari pencipta yang diatur dalam konvensi Berne hanyalah hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan, seiring dengan perkembangan teknologi rekaman baik rekaman suara ( audio) maupun rekaman suara dan gambar (audiovisual) yang semakin canggih maka menimbulkan hak ekonomi bagi para pihak yang tidak menghasilkan karya cipta akan tetapi membantu menyebarkan karya cipta, hak ini dikenal dengan hak-hak yang terkait dengan hak cipta (neighbouring rights).Hak-hak terkait ini dimiliki oleh artis penampil, produser rekaman dan lembaga penyiaran.

Hak ekonomi ini meliputi hak penggandaan ( reproduction right); hak penyebarluasan (distribution right); hak adaptasi (adaptation Right) yang meliputi hak penerjemahan, hak dramatisasi, hak film ; hak pertunjukan ( performance Right): hak atas rekaman suara (Mechanical Right); hak atas program siaran ( broadcasting right).[9]

Sedangkan hak moral adalah hak  yang melekat pada pencipta , yaitu hak untuk selalu  dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan  hak atas keutuhan ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul.hak moral ini secara eksplisit diatur dalam pasal 24 UU 19/2002. Hak moral ini tidak bisa dialihkan kepemilikannya seperti hak ekonomi.

4. Pembatasan Dan Pengecualian Hak Cipta

Pemanfaatan hak cipta tidaklah sepenuhnya bersifat monopoli seperti paten, karena ada pembatasan-pembatasan dan pengecualian-pengecualian yang berdasarkan pada pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat ,yang tidak termasuk dalam tindak pidana hak cipta. Sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU 19/2002 sebagai berikut:

Pasal 14

Tidak dianggap sebagai tindak pidana hak cipta:

  1. Pengumuman dan atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
  2. Pengumuman dan atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh dan atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika karya cipta itu diumumkan dan atau diperbanyak;
  3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

 

Pasal 15

 

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai tindak pidana hak cipta:

  1. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
  2. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
  3. Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan:

(i)   ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau ;

(ii)  pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;

  1. Perbanyakan suatu   ciptaan  bidang ilmu pengatahuan, seni dan sastra dalam huruf braille guna keperluan tuna netra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
  2. e.   Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
  3. Perubahan yg dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti  ciptaan bangunan;
  4. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

 

 

 

  1. D.   PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER

Pengaturan tentang hak cipta dalam satu sistem hukum HKI sebenarnya telah dimulai sejak dekade 80-an dengan diberlakukannya UU 6/1982 tentang hak cipta yang kemudian berturut-turut diamandemen dengan UU 7/1987  dan UU12/1997 sampai dengan diberlakukannya UU hak cipta yang terbaru yaitu UU 19/2002 yang berlaku efektif pada tanggal 23 Juli 2003 ternyata belum mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap karya cipta , khususnya perangkat lunak (program komputer) atau dalam definisi pasal 12 UU 19/2002 disebut sebagai program komputer. Ironisnya, sampai sekarang Indonesia masih masuk dalam 5 besar negara-negara pembajak program komputer di dunia yaitu China, Vietnam, Ukraina dan Zimbabwe.[10]

Menurut pendapat Dhony Setyaputra (manager BSA) , Ada tiga hal yang menyebabkan tingginya pembanjakan program komputer, pertama : proses penggandaan program komputer semakin mudah dan semakin digemari. Kedua: kurangnya kesadaran dan budaya masyarakat untuk menghargai hak cipta atas program komputer, sikap acuh terhadap konsekuensi hukum yang timbul akibat pembajakan program komputer. Ketiga: faktor penegakan hukum dan perangkat perundang-undangan di bidang hak cipta yang lemah.[11]
Sedangkan pembajakan program komputer komputer di Jatim terkait erat dengan tingginya angka kejahatan itu secara nasional yang pada 2005 mencapai 87% dan menempatkan indonesia pada  peringkat 5 tertinggi dari  20 negara pelanggar HKI.[12]

Dampak dari pembajakan program komputer sebenarnya tidak hanya merugikan perusahaan ataupun perorangan yang memiliki hak cipta atas program komputer, akan tetapi juga merugikan negara dari sektor penerimaan pajak. Data yang dilansir oleh Microsoft Indonesia, tahun 2005 menyebutkan pajak pendapatan dari penjualan program komputer saja, seharusnya bisa mencapai US$ 100 juta, akan tetapi karena banyaknya pembajakan, pemerintah hanya mendapatkan US$ 20 juta[13].

1.Pengertian program komputer

     Istilah program komputer( perangkat lunak) yang berupa program komputer adalah istilah umum yang dikenal dalam dunia informasi teknologi, yang biasanya di sandingkan dengan hardware (perangkat keras) yang meliputi monitor, CPU, keyboard, mouse dan printer.Sebaliknya undang-undang dengan jelas menyebut program komputer sebagai program komputer (computer programs).

Pasal 1 angka 8 UU 19/2002 menyebutkan:

Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.

 

Biasanya ada tiga langkah yang dilakukan seorang programmer untuk menciptakan program komputer. Pertama, progamer menentukan struktur dari program yang ingin dibuat, bahasa pemrograman apa yang akan dipakai dan bagaimana program tersebut akan dijalankan. Kedua, programer mendisain satu rangkaian prosedur untuk memecahkan masalah yang biasanya berdasar pada kerangka kerja logika, matematika atau skema. Ketiga, programer menerjemahkan program yang telah dibuat kedalam bahasa pemrograman komputer yang di sebut dengan “ source code” atau kode asal dan kemudian source code dari program yang dibuat  itu diterjemahkan ke dalam “object code” atau code objek yang berbasis pada bilangan biner ( 0 dan 1) pada sebuah compiler.

Sedangkan bentuk dari program komputer ini bermacam-macam misalnya yang paling sering kita gunakan adalah MS Word,  Power Point atau Excel. Program komputer yang lain adalah program-program yang dipakai dalam seni grafis maupun fotografi misalnya Corel Draw, atau program untuk gambar arsitek yaitu Auto CAD bahkan program komputer yang dipakai untuk mengoperasikan telpon seluler serta games.

2. Pelanggaran Hak cipta atas program komputer

          Pelanggaran hak cipta pada dasarnya ada 2 (dua )hal yaitu pelanggaran terhadap hak ekonomi (pasal 72 ayat 1-5) UU 19/2002 dan pelanggaran terhadap hak moral pencipta (pasal 72 ayat 6-9) UU 19/2002  tentang hak cipta  dapat di rumuskan sebagai berikut:[14]

No

PASAL

SANKSI PIDANA

JENIS PERBUATAN

PENJARA

DENDA(rupiah)

1 72(1) 7 tahun 5 Milyar Dengan sengaja dan tanpa hak: mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan , atau membuat , memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar pertunjukkan atau memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara dan rekaman bunyi.
2 72(2) 5 tahun 500 Juta Dengan sengaja menyiarkan , memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
3 72(3) 5 tahun 500 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer
4 72 (4) 5 tahun 1 Milyar Dengan sengaja melakukan pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keuangan negara, kesusilaan serta ketertiban umum
5 72 (5) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja memperbanyak, mengumumkan potret seseorang tanpa izin orang yang dipotret atau ijin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia; dan tanpa ijin atau melanggar klarangan lembaga penyiaran untuk memperbanyak, mebuat dan atau menyiarkan ulang siaran yang dilindungi melalui transmini dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektronik lainnya
6 72 (6) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak mencantumkan nama pencipta pada ciptaan; atau mengubah isi suatu ciptaan, judul ciptaan dan anak judul ciptaan.
7 72 (7) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta
8 72 ( 8) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi sarana teknologi sebagai pengaman hak pencipta
9 72 (9) 5 tahun 1 Milyar Dengan sengaja dan tanpa hak tidak memakai semua peraturan perijinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam penggunaan sarana produksi berteknologi tinggi khususnya di bidang cakram optik (optical disc)

 

 

  1. E.   ALTERNATIF SOLUSI PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Menurut UU Hak Cipta

 Undang-Undang hak cipta juga memberikan pilihan mekanisme bagi pencipta dan atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya dengan 3 (tiga) cara yaitu:

  1. Melalui gugatan perdata , sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU 19/2002 yang menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan perdata, yang meliputi gugatan ganti rugi, permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran serta permohonan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan dari pelanggaran. Selain itu pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara[15] dari hakim agar memerintahkan pelanggar menghentikan segala kegiatan tindak pidana hak cipta agar tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta.Gugatan perdata ini dapat di ajukan di Pengadilan Niaga[16] yang berkedudukan di 5 (lima) kota besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta,  Semarang, Surabaya dan Makassar. Sedangkan pelanggaran atas hak moral dari pencipta tetap dapat diajukan oleh pencipta atau ahli warisnya bila pencipta telah meninggal dunia.
  2. Melalui tuntutan pidana, pengajuan gugatan perdata dalam tindak pidana hak cipta tidak menggugurkan hak negara untuk melakukan tuntutan pidana. Pasal 72 UU 19/2002 telah mengatur ketentuan pidana dengan sanksi pidana yang cukup tinggi.
  3. Pilihan yang terakhir adalah pemanfaatan Penyelesaian Sengketa Alternatif ( Altenatif Dispute Resolution) yang meliputi Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase

2.Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan Pemerintah, Sektor Swasta Dan Masyarakat

  • DIRJEN HKI

Beberapa hal telah dilakukan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk meminimalisasi pembajakan, di antaranya sejak Februari 2007 mempermudah pelayanan dengan membuka enam provinsi percontohan di mana publik bisa mendaftarkan karyanya di kantor-kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di enam provinsi. Enam provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Makassar. Enam provinsi lain yang akan menyusul untuk dibuka adalah Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau. Biaya pendaftaran untuk merek Rp 450.000, sedangkan untuk hak cipta Rp 75.000. [17]

  • APARAT PENEGAK HUKUM

Aparat penegak hukum yang terkait dengan penegakan hukum HKI adalah polisi, jaksa, hakim dan Bea dan Cukai. Pelatihan secara rutin oleh instansi yang bersangkutan bekerjasama dengan DIRJEN HKI, AUSAID, EC sejak tahun 1996. Yang perlu diperhatikan adalah penempatan SDM yang telah mendapatkan pelatihan HKI pada posisi yang tepat.

Tindakan nyata yang dilakukan untuk memberantas pelanggaran HKI, Khususnya oleh kepolisian dengan  melakukan razia barang bajakan secara berkala, bahkan dari kegiatan ini ada beberapa kasus yang  yang sampai pada proses peradilan.

  • VENDOR ATAU PENYEDIA PROGRAM KOMPUTER

Seperti halnya pencipta dan pemegang hak cipta dan hak terkait yang sangat tergantung pada lisensi dan kontrak dalam pengelolaan karya cipta sebagai kekayaan. Sebagaimana isi / content hak cipta menjadi semakin cair dan dapat didistribusikan dengan berbagai cara, penawaran pemasarnpun dapat disesuaikan dengan kebutuhan khusus dari konsumen atau sekelompok konsumen ataupun syarat-syarat umum untuk berbagi.

Produk yang  lebih beragam juga merupakan cerminan dari hubungan kebutuhan untuk semakin fleksibel dalam  hubungan hukum antara penyedia content, perantara dan konsumen. Hukum kontrak juga mengijinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam pengelolaan hubungan tersebut.

Pemegang hak atas program komputer menggunakan lisensi shrinkwrap atau clickwrap. Dua terminologi dari lisensi shrinkwrap  dapat dilihat dari kotak pembungkus yang memuat program sofware. Dengan membuka segel kemasan  pembeli dianggap menyetujui syarat-syarat dalam menggunakan program komputer dan kontrak telah disepakati. Pernyataan tersebut biasanya dimunculkan sebagai formulir yang sudah dicetak untuk pihak yang lemah yang tidak mungkin memiliki kemampuan untuk menegosiasikan syarat kontrak. Jika seseorang memilih mengembalikan produk tersebut, maka mereka tidak lagi terikat dengan syarat-syarat dalam kontrak.

  • KOMUNITAS PENGGUNA DAN  PROGRAMMER

HKI atas program komputer adalah kekayaan yang secara tradisional dilindungi dengan hak cipta atau paten di beberapa negara. Sebaliknya, gerakan opensource dalam dunia industri program komputer telah mengadopsi posisi yang berbeda terhadap penegasan HKI untuk program komputer.

Open source merujuk pada pengembangan program komputer yang kode asal (source code) yang bisa diperoleh publik sesuai dengan standar sertifikasi yang dikeluarkan Open Source Initiative (OSI). Program komputer tersebut walaupun dilindungi dengan hak cipta bebas untuk didistribusikan dengan lisensi terbatas dan pengembang didorong untuk menjalankan, memodifikasi, mencopy dan mendistribusikan program komputer gratis sepanjang memenuhi kondisi tertentu termasuk source code yang tetap dapat diakses oleh publik dan pemegang source code tidak menarik royalri apapun.

Gerakan yang disusun untuk mendorong pengembangan program komputer secara bersama-sama, membuang program yang salah atau bug dan mengenalkan karya turunan. Model bisnis opensource tetap berbasis pada hak cipta dan kontrak, karena sistem hak cipta menyediakan infrastruktur yang legal untuk open source program komputer. Beberapa program komputer didistribusikan menurut General Public License (GPL) yang memberikan lisensi untuk bebas mereproduksi program komputer menurut kondisi GPL, pengguna program komputer terikat oleh GPL.Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah LINUX yang berusaha untuk mengembangan Operating System yang selama ini didominasi oleh Microsoft.

  • KERJASAMA ANTARA VENDOR DENGAN KOMUNITAS PROGRAMMER DAN PEMAKAI

Model lisensi lain yang telah dikembangkan adalah usaha kerjasama yang dikenal dengan nama Creative Common (CC). Tahun 2002 CC mengeluarkan satu bentuk lisensi hak cipta yang gratis untuk umum yang percaya bahwa hak cipta dapat ditegakkan melalui GPL. Tidak seperti GPL, lisensi CC tidak didesain untuk program komputer, akan tetapi untuk karya kreatif lainnya misalnya website, beasiswa, musik, film, fotografi, karya sastra, bahan pelajaran. CC merupakan proyek untuk internasionalisasi lisensi CC untuk semua jurisdiksi diseluruh dunia.

 

  • KERJASAMA ANTARA VENDOR DAN PEMERINTAH SERTA PERGURUAN TINGGI

Kerjasama ini diawali dengan penandatanganan Memory of understanding antara pemerintah Indonesia dengan Microsoft  dengan ketentuan lembaga pemerintah dan perguruan tinggi di Indonesia dapat menggunakan program komputer asli dengan harga yang terjangkau. Hal ini di kenal dengan program Microsoft goes to Campus, walaupun kebijakan ini bertentangan dengan program dari Menkoinfo yang pernah mencanangkan program IGOS ( Indonesia goes to Open Source)

  • MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT AKAN PENTINGNYA PENGHARGAAN TERHADAP HAK CIPTA

Ada banyak cara yang bisa diambil oleh pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap hak cipta, walaupun hasil dari upaya ini tidak dapat dilihat secara instant.

Yang pertama adalah merubah pola pikir masyarakat bahwa proses kreatif seseorang dalam menghasilkan suatu karya perlu dihargai dan diakui. Oleh karena itu perlu dikenalkan budaya malu membeli dan menggunakan barang bajakan.

Yang kedua adalah perlu adanya kerja sama yang sinergis antara pekerja kreatif di bidang teknologi informasi, sektor industri, perdagangan agar dapat melakukan efisiensi dalam proses produksi sehingga harga  program komputer dapat terjangkau.Sedangkan pemerintah dapat membantu berkembangnya industri TI di Indonesia dengan berbagai kemudahan dan penerapan pajak 0% serta membangun infrastruktur TI yang tangguh.

Yang ketiga khususnya di sektor pendidikan, penghargaaan dan pengakuan terhadap HKI perlu dikenalkan sejak pendidikan dasar, karena hal ini akan memberikan dampak yang sangat baik bagi kesadaran hukum masyarakat.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Jeremy Phillips and Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Rights Law, Butterworth-London,1999.

 

Bambang Kesowo, Pengantar Hak Atas Kekayaan Intelektual, UGM-Yogyakarta, 1995

 

M. Djumhana dan R. Djubaidillah, Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Teori, sejarah dan Prakteknya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

 

WIPO Background Reading Material on IPR, Geneva, 1986.

Universal Copyrights Convention 1952.

 

Konvensi Pan Amerika Revisi Havana 1928.

 

TRIPs

 

www. hukumonline.com

 

www.detikinet.com

 

http://www.bisnis indonesia.com

 

http://www.kompas.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Pengajar pada fakultas hukum Universitas Brawijaya Malang.

[2] Jeremy Phillips and Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Rights Law, Butterworth-London, 1999, h. 3-4

[3] WIPO Background Reading Material on IPR, Geneva, 1986, h. 209

[4] Bambang Kesowo, Pengantar Hak Atas Kekayaan Intelektual, UGM-Yogyakarta, 1995, h.10

[5] Ketentuan dari Universal Copyrights Convention 1952.

[6] Ketentuan Konvensi Pan Amerika Revisi Havana 1928.

[7] Pasal 9 TRIPs ayat 2 perlindungan hak cipta akan meliputi pengekspresian dan tidak meliputi ide, gagasan, prosedur, metode kerja dan konsep matematika.

[8] Penjelasan pasal 1 angka 1 UU 19/2002 tentang Hak cipta

[9] M. Djumhana dan R. Djubaidillah, Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Teori, sejarah dan Prakteknya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 51-54.

[10] www. hukumonline.com, Penegakan HKI Butuh Pendekatan Komprehensif,kamis 10 April 2008, lihat juga http://www.detikinet.com, 87% Software Komputer di Indonesia Bajakan, Rabu, 29 maret 2003

[11] http://www.detik.com , BSA Indonesia: Hukum Berat Pelanggar HaKI ,Selasa 27 Maret 2007

[12] Bisnis Indonesia, Polda Jatim Janji Tindak Pelanggar HKI Bidang IT,Rabu 28 Maret 2007,

[13] www. Detikinet.com ,Dalam 2 Tahun Angka Pembajakan Hanya Turun 1%,Rabu, 27 April 2005.

[14]Eddy Damian, op.cit, h 34.

[15] Pasal 67 UU 19/2002

[16] Pasal 59 UU 19/2002

[17]http://www.kompas.com, Negara Rugi Besar akibat Pembajakan, 10 Maret 2007

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in pelatihan

 

Tags: , ,

TEKNIK PENYUSUNAN LEGAL MEMORANDUM

TEKNIK PENYUSUNAN LEGAL MEMORANDUM[1]

Oleh: YULIATI,SH.,LL.M

yuliaticholil@ub.ac.id

Disampaikan dalam Acara Pelatihan Penyusunan Legal opinion, oleh Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 27-28 Oktober 2004.

 

 

  1. Pendahuluan

Penyusunan legal memorandum, pada dasarnya dimulai dari adanya permasalahan. Oleh karena itu, sebelum membuat atau menyusun legal memorandum, penyusun harus sudah membayangkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang hendak ditulis. Selain itu penulis harus yakin dengan pemecahan masalah yang diajukan.

Penyusunan legal memorandum pada proses berfikirnya sama dengan penulisan karya ilmiah hukum ( legal research paper) yang berbeda adalah subtansi, metodologi, dan format/syle-nya.[2] Penyusunan legal memorandum biasanya diawali dengan timbulnya masalah yang memerlukan pendapat dari seorang ahli hukum, apakah dalam hubungan klien dan pengacara, ataupun pengacara junior yang mendapat tugas dari atasannya, atau legal memorandum tentang layak atau tidaknya suatu perusahaan untuk mendapatkan kredit dan lain-lain.

Di dalam dunia pendidikan hukum khususnya Perguruan Tinggi, ketrampilan menyusun legal memorandum ini akan menjadi nilai lebih bagi para lulusan untuk bersaing dipasar kerja yang berkaitan dengan praktek hukum. Pada perguruan Tinggi di luar negeri ketrampilan menyusun legal memorandum sudah diajarkan pada mahasiswa S1 pada semester 2 dan juga pada mahasiswa S2 yang berasal dari negara-negara yang menggunakan Sistem Hukum Civil Law, sebagai bagian dari pengenalan cara pembelajaran hukum di negara yang memakai Sistem Hukum Common Law . Selain itu proses penyusunan legal memorandum juga dipakai sebagai latihan untuk mengembangkan penalaran, logika dan argumentasi bagi mahasiswa sehingga dapat menganalisa kasus dengan benar, menerapkan aturan hukum dengan tepat dan menyampaikan legal memorandum secara obyektif dan proporsional.

Menurut pendapat penulis, sudah saatnya mahasiswa fakultas hukum tertutama yang telah menempuh mata kuliah keahlian hukum diperkenalkan cara penyusunan legal memorandum sebagai bagian dari tugas terstruktur, sehingga mahasiswa terbiasa untuk menganalisa kasus secara cermat dengan menggunakan logika dan argumentasi yang benar, tidak hanya sekedar retorika. Selain itu penugasan terstuktur menjadi lebih obyektif dalam penilaiannya, karena ada tolok ukur yang dapat dijadikan standar.[3]Kegunaan yang lain dari model penugasan penyusunan legal memorandum adalah terbukanya kesempatan bagi pengajar untuk mengadakan improvisasi terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan mata kuliah yang diajarkan dengan berbagai tingkat kesulitan, tergantung pada kreativitas pengajar dalam menyampaikan kasus.

 

  1. Format atau susunan Legal memorandum

Pada umumnya format legal memorandum memuat hal-hal sebagai berikut:[4]

  1. Heading

Yang memuat nama para pihak atau nama kasus dengan atau tanpa nomor kasus, penyusun legal memorandum dan untuk siapa penyusunan legal memorandum ditujukan.

  1. Statement of Assignment

Yang berupa isi penugasan (biasanya petunjuk penugasan dari pengacara senior kepada pengacara junior).

  1. Issues

Issues atau pokok permasalahan yang merupakan inti dari permasalahan hukum yang memerlukan analisa dan jawaban.

  1. Brief Answer

Brief answer adalah jawaban singkat atas pokok permasalahan hukum yang ada.

  1. Statement of Facts

Adalah pernyataan fakta-fakta yang paling relevan yang berkaitan dengan permasalahan.

  1. Analysis atau Discussion

Adalah analisa dari penerapan aturan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

  1. Conclusion

Yang merupakan rangkuman dari seluruh legal memorandum.

Format Legal memorandum tersebut diatas merupakan format yang paling lengkap. Dalam praktek sehari-hari format legal memorandum bisa beragam misalnya : Bentuk yang paling sederhana hanya terdiri dari Facts, Issues, Conclusion, Discussion atau bentuk yang agak berbeda misalnya Issues, Conclusions, Facts, Discussion.[5]

  1. Langkah-Langkah Penyusunan Legal memorandum

Dalam langkah-langkah penyusunan legal memorandum ada lima aturan dasar ( five golden rules)  yang harus diikuti, yang biasanya di sebut IFRAC yaitu: I (Issues) atau Pokok Permasalahan. F(Facts) atau fakta-fakta, R (Rules) atau aturan hukum yang dapat atau mungkin dapat diterapkan dalam kasus tersebut, A ( Application) atau penerapan aturan hukum pada kasus yang tersebut, C ( Conclusion ) atau kesimpulan.

  1. Issues

Tidaklah mudah untuk menetapkan inti permasalahan dalam suatu kasus. Biasanya dalam metode pembelajaran penyusunan legal memorandum diawali dengan latihan penalaran logika. Bentuk klasik dari sebuah argumen atau biasa dikenal dengan silogisme terdiri dari premis mayor, premis minor dan kesimpulan. Dalam penalaran logika biasanya sering terjadi kesenjangan logika yang akibatnya adalah terjadi kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Kesenjangan logika yang terjadi biasanya adalah :[6]

    1. Generalisasi

Membuat kesimpulan dari hal-hal khusus untuk hal yang umum misalnya: Kemarin dan hari ini hujan, oleh karena itu besok pasti hujan.

    1. Logika berputar

Memberikan asumsi tentang apa yang hendak dibuktikan. Misalnya:Saya tahu yang dikatakan penulis itu pasti benar, karena ia membuat pernyataan dalam kata pembukanya bahwa ia tidak bohong

    1. Kesalahan ad Hominem

Pernyataan yang menyerang lawan dan bukan membantah argumennya. Misalnya: Kesalahan yang kamu buat semata-mata  karena kamu bertubuh pendek.

    1. Kesalahan Analogi

Menggunakan analogi untuk menarik kesimpulan yang salah. Misalnya: Program Pemberantasan buta huruf di Malang telah dihentikan, karena tidak ada lagi warga yang buta huruf. Oleh karena itu program serupa di kota lain juga harus dihentikan.

Penentuan pokok permasalahan merupakan langkah penting dalam penyusunan legal memorandum. Hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, satu hal yang perlu diperhatikan untuk memahami suatu kasus adalah membaca dan membaca kasus tersebut berulang-ulang, sehingga penyusun Legal Memorandum dapat memahami dan menyimpulkan inti atau pokok permasalahan dari kasus tersebut.  Seseorang tidak akan dapat memecahkan kasus yang dihadapi apabila memulai dengan pertanyaan yang salah. Apabila seseorang salah dalam menentukan pokok permasalahan , maka analisa dan kesimpulannya akan salah pula. Pertanyaan hukum secara sederhana    biasanya dimulai dengan rumusan sebagai berikut:[7]

Apakah (perbuatan)…………..dapat dibenarkan menurut………( aturan hukum yang berkaitan)?

 

  1. Facts

Pada bagian ini yang harus diingat adalah pembaca atau klien harus dapat memahami kasus tersebut tanpa perlu membaca berkas perkara. Oleh karena itu pernyataan fakta-fakta ini harus dilakukan dengan cermat dan sedapat mungkin dikemukakan secara singkat bisa secara kronologis atau berdasarkan topik atau gabungan keduanya tergantung pada kasus yang bersangkutan. Hal lain yang harus diingat adalah legal memorandum merupakan dokumen hukum yang diharapkan dapat digunakan di masa yang akan datang untuk mengetahui bagaimana sebuah undang-undang diterapkan. Pemahaman terhadap penerapan hukum hanya bisa dilakukan apabila penyusun memahami fakta-fakta yang berkaitan  yang bersangkutan dengan kasus dengan baik. Penyajian fakta-fakta ini juga harus jujur dan obyektif , sehingga pembaca atau klien dapat mengerti posisinya dalam kasus tersebut. Pencantuman fakta yang berlebihan, tidak relevan atau menutupi fakta yang ada hanya akan membuat legal memorandum yang menyesatkan.

  1. Rules

`           Pada tahap ini, penyusun Legal memorandum melakukan inventarisasi bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam kasus tersebut. Setelah semua bahan hukum terkumpul maka langkah selanjutnya adalah memilah dan memilih bahan hukum yang mempunyai kaitan erat dengan pokok permasalahan sehingga penyusun legal memorandum bisa memprediksi jawaban apa yang akan diberikan pada pokok permasalahan tersebut. Cara yang bisa dilakukan untuk mempermudah penentuan aturan hukum adalah mengutip isi pasal dari undang-undang dan peraturan pelaksananya yang dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Selain itu penyusun legal memorandum dapat meneliti dengan seksama putusan pengadilan yang pernah memeriksa kasus yang mirip. Walaupun dalam sistem hukum Indonesia tidak menganut asas Stare decisis akan tetapi seringkali putusan pengadilan terutama Mahkamah Agung dapat dipakai sebagai penguat argumen kita.

  1. Analisa

Analisa atau discussion ini merupakan jantung atau bagian inti dari Legal Memorandum. Pada bagian ini pokok permasalahan harus dijawab dengan cara menganalisa aturan hukum dan penerapannya  pada fakta dalam kasus tersebut. Apabila terdapat beberapa pokok permasalahan, maka setiap pokok permasalahan dianalisa dan dijawab sendiri- sendiri. Cara yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah membuat tabel yang dapat mengubungkan antara fakta dalam kasus dengan aturan hukum yang paling relevan dengan fakta tersebut. Kemudian dianalisa secara mendalam apakah aturan hukum tersebut bisa diterapkan ataukah tidak dalam kasus tersebut.

Bagian analisa ini sangat menentukan nilai dari legal memorandum oleh karena itu analisa harus dilakukan secara cermat,  mendalam dan akurat. Dalam penyusunan legal memorandum hal yang perlu diperhatikan adalah mengungkapkan analisa dalam bahasa yang jelas, pasti dan dapat dimengerti oleh orang awam. Oleh karena itu apabila ada istilah yang sangat teknis atau istilah hukum (yang biasanya rumit) maka menjadi tugas bagi penyusun legal memorandum menginterpretasikan istilah tersebut dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum.

  1. Kesimpulan

Kesimpulan merupakan ringkasan dari seluruh isi legal memorandum. Kesalahan yang sering terjadi adalah penarikan kesimpulan yang kurang tepat, karena lemahnya argumen atau penggunaan logika yang salah.

Misalnya contoh berikut ini :

Contoh I:

Semua penekanan yang diberikan pada “pelatihan karir” , telah mengubah perguruan tinggi menjadi semacam pabrik. Menerima mahasiswa pada bagian awalnya, memberikan kuliah yang diperlukan dan mereka lulus pada bagian akhirnya tanpa kepribadian atau kemampuan berfikir kreatif.

 

Contoh II

 

Di Amerika Serikat, Perang Dunia I dimulai pada masa pemerintahan Presiden Wilson, Perang Dunia II dimulai pada masa pemerintahan Presiden Roosevelt. Perang Vietnam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Presiden Johnson, apabila ada lagi presiden dari partai Demokrat terpilih , maka pasti akan ada perang lagi.

 

Pada bagian ini bukan semata-mata mengulang jawaban singkat, akan tetapi menyimpulkan argumen-argumen yang terdapat dalam bagian analisa. Kesimpulan juga harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kasus yang bersangkutan, akan tetap tidak perlu dikutip secara lengkap. Kesimpulan biasanya dibuat ringkas dan padat.

D. Penutup

Proses penyusunan atau pembuatan legal memorandum sebenarnya merupakan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan oleh praktisi ataupun pengajar pada fakultas hukum. Bagi pengajar, bentuk pemberian tugas terstruktur dapat mendorong kreativitas pengajar untuk selalu menampilkan kasus-kasus yang up to date sehingga proses pembelajaran lebih menarik dan dinamis. Bagi mahasiswa latihan secara terus menerus dalam penyusunan legal memorandum dapat menumbuhkan cara berfikir yang logis dan sistematis. Oleh karena itu, ketrampilan penyusunan legal memorandum ini perlu ditingkatkan, agar pola berfikir yang baik juga ditempatkan dalam kerangka yang tepat, sehingga berguna bagi pengajar dan mahasiswa.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Eric. G. Putzig, 2001, Structure of Legal Memorandum, Materi pelatihan Legal writing, Den Pasar Juli- Agustus 2001.

 

——–Logical Gap, Materi pelatihan Legal Writing, Den Pasar Juli-Agustus 2001.

 

Peter Mahmud, 2001, Penulisan Hukum, Makalah Pelatihan Legal Writing, Denpasar 23 Juli 2001.

 

http://www.legalresearch.org/docs/process.html

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN I

CONTOH LANGKAH –LANGKAH PENYUSUNAN LEGAL MEMORANDUM

KASUS

Pada tanggal 12 januari 2004, Pukul 23.30 WIB telah terjadi perampokan (Bukan istilah hukum) yang dilakukan oleh Badi dan Candra yang mengendarai sepeda motor, di perempatan Jalan HR Rasuna Said Jakarta terhadap Deddy yang pada saat itu sedang mengendarai mobil bersama Eri baru saja keluar dari News cafe. Tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku adalah dengan menghimpit mobil korban dengan sepeda motor pelaku pada saat lampu lalu linta menunjukkan warna merah,  kemudian  mengetok kaca mobil dengan pistol kepada Eri (yang duduk disamping Deddy) agar membuka pintu mobil. Karena kaca mobil tidak di buka, Candra menembak lubang kunci pintu mobil tersebut, sehingga pintu mobil bisa dibuka paksa. Akan tetapi hal ini menyebabkan Eri tertembak peluru dan pingsan karena  luka parah. Karena panik dan takut Deddy kemudian menyerahkan apa saja yang diminta oleh Badi yaitu:  handphone, jam tangan, dompet yang berisi uang tunai 1.000.000 rupiah serta 200 US Dollar dan kartu identitas.

Tugas:

Buat Pendapat hukum atas kasus tersebut, seandainya anda adalah pengacara korban.

 

 

 

 

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN LEGAL MEMORANDUM

Gunakan Prinsip Five Golden Rules:

1. Tentukan pokok permasalahan (Issues)

2. Uraikan Fakta-fakta (Facts)

3. Inventarisasi Aturan Hukum (Rules)

4. Lakukan Analisa (Analysis)

5. Buat kesimpulan( Conclusion)

Langkah ke-1

POKOK PERMASALAHAN (ISSUES)

Baca kasus tersebut dengan seksama. Misalnya pokok permasalahan dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah perbuatan Badi dan Candra mengancam dan memaksa Deddy untuk menyerahkan uang dan handpone dapat dikenakan ketentuan Pasal 368 ayat 2 KUHP tentang pemerasan?

2. Apakah perbuatan Candra menembak pintu mobil dan menyebabkan Eri tertembak dapat dikenakan ketentuan Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan yang menyebabkan luka berat ?

Langkah ke-2

FAKTA-FAKTA (FACTS)

Langkah kedua ini relatif lebih mudah untuk dilakukan dengan cara membaca dan memberi tanda pada kasus dengan jalan memisahkan mana yang fakta hukum mana yang bukan fakta hukum. Setelah itu disusun secara kronologis ataupun menurut topik.

Langkah ke- 3

ATURAN HUKUM( RULES)

Setelah pokok permasalahan dirumuskan dengan jelas maka langkah selanjutnya adalah menginventarisasi aturan hukum yang berkaitan dengan fakta pada kasus. Apabila kita cermati maka kasus tersebut diatas akan berkaitan dengan aturan hukum- aturan hukum sebagai berikut:

 

 

Pasal 362 KUHP

Barang siapa mengambil barang sesuatu yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum karena bersalah melakukan pencurian dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya lima tahun atau dengan denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.

Pasal 365 (1) KUHP

Diancam dengan pidana maksimum 9 tahun penjara, pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian , atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.

Pasal 365 ayat 2

Diancam dengan pidana selama 12 tahun:

Ke- 1 : dilakukan diwaktu malam hari , pada tempat adalah rumah atau pekarangan tertutup, di jalan umum, di dalam kereta api yang sedang berjalan;

Ke-2    :  dilakukan oleh dua orang atau lebih bersekutu;

Ke-3    : Jika masuknya ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

Ke-4    : Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat.

Pasal 368 (1) KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain atau supaya meberikan hutang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun;

Pasal 368 (2) KUHP

Ketentuna pasal 365 (2,3,4) KUHP berlaku bagi kejahatan ini.

Pasal 55 (1) KUHP

Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:

Ke-1    : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Pasal 89 KUHP

Membuat pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 90 KUHP luka berat berarti:

  1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali, atau yang dapat menimbulkan bahaya maut;
  2. Menjadi tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian;
  3. Kehilangan salah satu panca indra;
  4. Menjadi cacat;
  5. Menjadi lumpuh;
  6. Terganggu akalnya selama empat minggu atau lebih;
  7. Gugurnya atau matinya kandungan perempuan.

Pasal 98 KUHP

Malam yaitu waktu antara matahari silam dan matahari terbit

Pasal 1 angka 19 KUHAP

Tertangkapnya seseorang  pada waktu sedang, segera sesudah beberapa saat atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan barang yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana  yang menunjukkan bahwa ia pelaku atau turut melakukan atau membantu melakukan TP.

Pengertian jalan umum menurut S 1940 no 72 :

Jalan umum adalah setiap jalan yang terbuka untuk lalulintas umum berikut jembatan-jembatan, jalan air yang terdapat dijalan tersebut, termasuk didalamnya jalan untuk pejalan kaki, jalur hijau, tepi-tepi jalan, selokan-selokan dan tanggul-tanggul yang merupakan bagian dari jalan tersebut.

Penjelasan umum pasal 1 angka 4  UU 14/1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya:

Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum—prasarana perhubungan dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas.

 

Pasal 354 KUHP

Barang siapa sengaja melukai berat oranglain diancam, karena penganiayaan berat dengan pidana delapan tahun

Langkah ke-4

ANALISA (ANALYSIS)

Setelah aturan hukum diketahui maka tibalah waktunya untuk menerapkan aturan hukum tersebut dalam fakta pada kasus tersebut. Perlu dingat bahwa dalam penentuan aturan hukum tidak semua yang telah kita tetapkan harus diterapkan dalam fakta , akan tetapi setelah dianalisa maka pilih yang paling relevan dengan fakta pada kasus. Cara yang dapat mempermudah analisa dapat dilakukan dengan membuat tabel seperti dibawah ini:

 

Fakta

Aturan Hukum

Ya

Tidak

Mengetok kaca mobil dan mengacungkan pistol–upaya 365(1)  

 

ü

 

Pintu mobil rusak 365(1)

368 (2 ke-3)

 

ü

 

 

ü

 

Eri tertembak peluru, pingsan dan  luka parah 354

365(2 ke-4)

 

ü

 

ü
Deddy kemudian menyerahkan  handphone, jam tangan, dompet yang berisi uang tunai 1.000.000 rupiah serta 200 US Dollar dan kartu identitas.

 

362

368(1)

 

ü

ü
Pk 23.30 98 ü  
Jalan Rasuna said S 1940 no 72

Penjelasan umum pasal 1 angka 4  UU 14/1992

ü

ü

 
Pelaku dua orang dengan bersepakat 365(2 ke-2)

dan 55

ü  

 

Dari tabel tersebut diatas maka kita dengan mudah untuk membuat analisa dengan argumen-argumen yang akurat untuk selanjutnya susun dalam bagian analisa.

Langkah ke-5

Langkah terakhir dari aturan golden rules adalah menarik kesimpulan dari kasus tersebut dengan argumen hukum yang mendukung kesimpulan tersebut sehingga posisi atau kedudukan klien jelas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN II

 

LEGAL MEMORANDUM

Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Jl. MT Haryono 169 Malang

Telp, 0341 553 898

Fax. 0341 566 505

 

Kepada          : Ketua BKBH

Dari                 : Yuliati, SH., LLM

Tentang         : Pemerasan dengan pemberatan terhadap Deddy dan Erry

Nomor Kasus: 1234/pdn/10/2004

Tanggal         : 27 Oktober 2004

 

POKOK PERMASALAHAN

I. Apakah perbuatan Badi dan Candra mengancam dan memaksa Deddy untuk menyerahkan uang dan handpone dapat dikenakan ketentuan Pasal 368 ayat 2 KUHP tentang pemerasan dengan pemberatan?

II. Apakah perbuatan Candra menembak pintu mobil dan menyebabkan Eri tertembak dapat dikenakan ketentuan Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan yang menyebabkan luka berat ?

JAWABAN SINGKAT

I. YA, Perbuatan Badi dan Candra mengancam dan memaksa  Deddy untuk menyerahkan uang dan handpone dapat dikenakan ketentuan Pasal 368 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemerasan dengan pemberatan.

II. TIDAK, perbuatan Candra menembak pintu mobil dan menyebabkan Eri tertembak tidak dapat dikenakan ketentuan Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan yang menyebabkan luka berat.

 

PERNYATAAN FAKTA-FAKTA

  1. Pada tanggal 12 Januari 2004 , Pukul 23.30 WIB , di jalan Rasuna Said Jakarta, telah terjadi pemerasan dengan pemberatan yang dilakukan oleh Badi dan Candra terhadap korban yang bernama Deddy dan Eri;
  2. Pelaku dalam melaksanakan tindak pidana dengan cara mengancam korban dengan menggunakan pistol;
  3. Tindakan korban yang tidak mengindahkan ancaman pelaku membuat pelaku (Candra) benar-benar mewujudkan ancamannya dengan menembak lubang kunci pintu mobil, sehingga pintu mobil dapat dibuka dengan paksa;
  4. Ternyata tindakan pelaku (Candra) tidak hanya menyebabkan pintu mobil rusak, akan tetapi juga menyebabkan kaki eri tertembak dan luka parah;
  5. Keadaan ini membuat Deddy panik dan menyerahkan  jam tangan , handpone serta dompetnya kepada pelaku (Candra).

A N A L I S A

I. Apakah perbuatan Badi dan Candra mengancam dan memaksa Deddy untuk menyerahkan uang dan handpone dapat dikenakan ketentuan Pasal 368 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemerasan dengan pemberatan?

YA, perbuatan kedua terdakwa memenuhi ketentuan pasal 368 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemerasan dengan pemberatan. Perbuatan pelaku memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut diatas, karena pelaku dalam mewujudkan perbuatannya dengan menggunakan ancaman kekerasan yang diwujudkan dengan jalan mengetok kaca pintu mobil korban dengan menggunakan pistol.

Selain itu, pelaku juga menggunakan upaya kekerasan dengan cara menembakkan pistol pada lubang kunci pintu mobil korban, sehingga pintu mobil dapat dibuka dengan mudah. Perbuatan pelaku tersebut bertujuan untuk mendapatkan harta benda milik korban secara melawan hukum. Perbuatan pelaku yang membuat korban merasa terancam sehingga korban menyerahkan barang miliknya kepada pelaku merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan kualifikasi tindak pidana ini sebagai pemerasan. Hal ini berbeda dengan tindak pidana pencurian, karena pelaku mengambil barang dari kekuasaan korban, sedangkan dalam pemerasan beradanya barang pada pelaku karena diserahkan oleh korban yang merasa terancam keselamatannya. Dengan demikian perbuatan pelaku ( Candra) memenuhi rumusan pasal 368 ayat 1 KUHP.

Perbuatan pelaku juga memenuhi unsur-unsur pemberatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 2 KUHP yang mengacu pada unsur-unsur pembertan pidana pada pasal 365 ayat 2 KUHP sebagai berikut:

  • Unsur pemberatan pidana yang pertama yaitu tindak pidana dilakukan pada waktu malam hari dan di jalan umum. Tidak pidan tersebut terjadi pada pukul 23.30 WIB yang memenuhi rumusan malam hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 KUHP Malam yaitu waktu antara matahari silam dan matahari terbit. Sedangkan, jalan Rasuna Said Jakarta termasuk dalam kualifikasi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pengertian jalan umum menurut S 1940 no 72 yaitu Jalan umum adalah setiap jalan yang terbuka untuk lalulintas umum berikut jembatan-jembatan, jalan air yang terdapat dijalan tersebut, termasuk didalamnya jalan untuk pejalan kaki, jalur hijau, tepi-tepi jalan, selokan-selokan dan tanggul-tanggul yang merupakan bagian dari jalan tersebut. Jalan Rasuna Said juga memenuhi rumusan pengertian jalan umum sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum pasal 1 angka 4  UU 14/1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya yaitu Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum—prasarana perhubungan dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas;
  • Unsur pemberatan pidana yang kedua adalah jumlah pelaku yang lebih dari seorang yang dilakukan dengan cara bermufakat, dalam hal ini Candra bekerjasama dengan Badi sehingga keadaan ini memenuhi ketentuan pasal 365 angka ke-2 KUHP. Selain itu jumlah pelaku yang lebih dari dua orang serta adanya niat untuk bekerja sama mewujudkan tindak pidana juga memenuhi syarat-syarat penyertaan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa baik pelaku maupun orang yang membantu melakukan tindak pidana ancaman pidananya sama;
  • Unsur pemberatan pidana yang ketiga adalah upaya yang dilakukan oleh pelaku untuk mewujudkan tindak pidana dengan jalan merusak lubang kunci pintu mobil sehingga memudahkan pelaku mewujudkan perbuatannya;
  • Unsur pemberatan keempat adalah adanya akibat luka berat yang diderita oleh korban (Eri) karena tertembak pistol korban. Kondisi Eri yang pingsan dan terluka parah memenuhi rumusan luka berat menurut ketentuan pasal 90 KUHP

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaku ( Candra) memenuhi semua unsur-unsur dalam pasal 368 ayat 2 KUHP.

 

II. Apakah perbuatan Candra menembak pintu mobil dan menyebabkan Eri tertembak dapat dikenakan ketentuan Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan yang menyebabkan luka berat ?

TIDAK, karena perbuatan pelaku (Candra) tidak bertujuan untuk menganiaya Eri, akan tetapi untuk memudahkan penguasaan atas barang-barang milik korban, sehingga perbuatan pelaku tidak memenuhi rumusan pasal 354 KUHP, karena dalam kasus tersebut diatas tujuan utama dari pelaku adalah mendapatkan barang milik korban sehingga termasuk dalam pemerasan yang termasuk dalam kejahatan terhadap harta kekayaan. Sedangkan dalam pasal 354 KUHP tujuan yang hendak dicapai adalah adanya luka berat yang diderita oleh korban, oleh karena itu termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa dan tubuh.

KESIMPULAN

Perbuatan pelaku memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana pemerasan dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 368 ayat 1 dan 2 KUHP, baik Candra maupun Badi dapat dikenakan ancaman pidana yang sama yaitu pidana penjara selama 12 tahun, karena keduanya melakukan tindak pidana dengan cara bekerja sama. Akan tetapi perbuatan pelaku (candra) yang membuat korban (Eri) luka parah tidak dapat dikenakan ketentuan pasal 354 KUHP tentang penganiayaan dengan pemberatan, karena maksud atau niat pelaku adalah mendapatkan barang milik korban dan bukan menganiaya korban.

 

LAMPIRAN III

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PARAMETER YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENILAI LEGAL MEMORANDUM[8]

NO

POIN YANG DINILAI

SANGAT BAIK

BAIK

CUKUP BAIK

KURANG BAIK

TOTAL SKOR

1

Pokok Permasalahan

  • Jelas dan mudah dimengerti
  • Meliputi materi dari kasus

 

 

 

 

 

2

Pernyataan fakta

  • Meliputi fakta yang relevan
  • Disajikan tanpa argumen
  • Tidak menyajikan fakta non hukum
  • Dapat dibedakan antara fakta, opini dan asumsi
  • Disajikan secara kronologis atau per topik

 

 

 

 

 

3

Analisa

  • Permasalahan diidentifikasikan dengan benar dan terarah
  • Aturan dipilih dan dikembangkan dengan jelas
  • Aturan dapat diterapkan dengan tepat pada fakta
  • Ada argumen yang mendukung fakta
  • Ada penekanan pada poin yang terpenting
  • Ada argumen lain (counter argumen) yang memperkuat opini penyusun
  • Bahan kutipan (pasal, yurisprudendi, doktrin) lengkap

 

 

 

 

 

 

4

Kesimpulan

  • Merujuk pada pokok permasalahan
  • Singkat, padat, ,jelas dan logis
  • Kesimpulan didasarkan pada fakta dalam kasus

 

 

 

 

 

 

5

Organisasi penulisan

  • Pendapat dikemukan dengan Jelas dan logis (logika)
  • Argumen dikemukakan dengan tepat(retorika0

 

 

 

 

 

6

Teknik Penulisan

  • Teknik pengutipan
  • Tata bahasa
  • Ketepatan pemilihan dan penggunaan kata-kata
  • Pembagian paragraf dan kata sambung
  • Salah ketik
  • Gaya bahasa
  • Kesesuain bahasa dengan sasaran pembaca/klien

 

7

Total skor

8

Komentar secara umum dan saran perbaikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Disampaikan dalam Acara Pelatihan Penyusunan Legal opinion, oleh Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 27-28 Oktober 2004.

 

[2] Peter Mahmud, 2001, Penulisan Hukum, Makalah Pelatihan Legal Writing, Denpasar 23 Juli 2001, h.1.

[3] Untuk penugasan mahasiswa S1, penulis biasanya menyebut Mini Legal Memorandum, karena terdiri dari kasus yang singkat.

[4] Eric. G. Putzig, 2001, Structure of Legal Memorandum, Materi pelatihan Legal writing, Den Pasar Juli- Agustus 2001.

[6] Eric. G. Putzig, 2001, Logical Gap, Materi pelatihan Legal Writing, Den Pasar Juli-Agustus 2001, h.5.

[7] Berbagai varian dapat dicermati pada saat pemaparan contoh kasus.

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in pelatihan

 

Tags: ,

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PROFESI KEFARMASIAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PROFESI KEFARMASIAN

Oleh : YULIATI, SH.,LLM[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

Makalah ini dipresentasikan pada acara SEMINAR SEHARI PEREDARAN OBAT PALSU DITINJAU DARI ASPEK PENGAWASAN, MORAL ETIKA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Rabu, 21 April 2004, di RSSA Malang.

 

 

  1. A.   Pengantar

Kesehatan merupakan hak asasi manusia, manakala seseorang sakit maka ia akan melakukan segala cara untuk memulihkan kesehatannya. Salah satu cara yang paling umum di tempuh oleh penderita adalah menjalani pengobatan secara medis oleh dokter baik yang melakukan pelayanan mandiri maupun yang bekerja di Rumah Sakit.

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan secara menyeluruh merupakan unit pelayanan yang kompleks, padat modal, padat tenaga ahli dan padat teknologi. Bila dilihat dari komponen-komponen yang mendukung pelayanan kesehatan secara berkesinambungan maka peran Rumah Sakit dipengaruhi oleh beberapa hal :

  1. Struktur organisasi pelayanan medik (dalam arti luas adalah pelayanan kesehatan) diatur dalam UU  23 / 1992 tentang Kesehatan dan dijabarkan lebih lanjut dalam PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan.
  2. Perilaku sosial dan budaya, terutama yang berkaitan dengan pandangan dan praktek para tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi masing-masing dalam upaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan.[2]

Pasal 1 angka 3 UU 23 / 1992 menyatakan:

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan jenis-jenis tenaga kesehatan diatur dalam  pasal 2 PP 32/1996 sebagai berikut:

(1) Tenaga Kesehatan terdiri dari:

  1. tenaga medis;
  2. tenaga keperawatan;
  3. tenaga kefarmasian;
  4. tenaga kesehatan masyarakat;
  5. tenaga gizi;
  6. tenaga keterapian fisik;
  7. tenaga keteknisan medis.

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi

(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan

(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker

(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidiolog kesehatan, etnomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan administrator kesehatan dan sanitarian

(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien

(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara

(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, fefraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi tranfusi dan perekam medik.

Upaya perawatan /pelayanan kesehatan bermula dari hubungan antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik yang didasarkan pada perjanjian yang bersifat inspanning artinya perjanjian yang didasarkan pada usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan terapi yang tepat dalam penyembuhan yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Bila dilihat dari pengaturan tenaga kesehatan sebagaimana dalam Undang-undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah maka secara implisit dapat dikatakan bahwa tenaga kefarmasian memiliki pertanggungjawaban yang sama dengan tenaga kesehatan yang lain manakala mereka bekerja tidak sesuai dengan standar profesi yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Hal ini akan menjadi lebih penting untuk diperhatikan setelah berlakunya UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang jangkauan berlakunya juga meliputi pelayanan kesehatan.

Permasalahan yang paling sering diperdebatkan adalah:

  1. Apakah penyelenggara kesehatan dapat disamakan dengan pelaku usaha dan apakah pasien dapat disamakan dengan konsumen?
  2. Bagaimanakah Bentuk Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan bila ada ada perbuatan yang merugikan pasien?
  3. B.   Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Jasa

Ada tiga pihak utama yang terlibat pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit (dalam arti luas juga termasuk tenaga kesehatannya) sebagai penyedia jasa, pasien sebagai konsumen pengguna jasa dan pemerintah sebagai pengatur hubungan para pihak. Ketiga komponen ini memiliki tujuan dan harapan yang berbeda yang terkadang sulit untuk dipertemukan. Rumah sakit menginginkan adanya kemandirian yang luas untuk menjalankan tugas dan wewenangnya menurut pengetahuan yang terbaik dari mereka, pasien menginginkan pelayanan kesehatan yang adil, merata dan terjangkau oleh semua anggota masyarakat sedangkan pemerintah harus melakukan pengawasan dan pembinaan agar tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai.

UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000 merupakan perwujudan kepedulian pemerintah atas hak-hak konsumen di Indonesia yang selama  lebih dari setengah abad terabaikan. Berlakunya undang-undang ini juga menimbulkan debat yang tak kunjung usai karena ada anggapan bahwa undang-undang ini akan membawa dampak yang merugikan bagi profesi tertentu termasuk penyedia jasa pelayanan kesehatan. Sebenarnya kalau kita mau mengkaji lebih cermat undang-undang ini perdebatan-perdebatan tersebut tidak perlu terjadi, karena pada hakekatnya kita semua adalah konsumen dan sudah sepatutnya kalau hak konsumen dilindungi secara memadai. Selain itu sudah saatnya kita menyadari bahwa tidak ada satu profesipun yang luput dari pertanggungjawaban hukum, karena semua hubungan yang ada dalam profesi adalah hubungan hukum yang menempatkan para pihak untuk melakukan prestasi dan tegen prestasi serta melarang adanya wan prestasi.

Untuk memahami undang-undang perlindungan konsumen berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak , maka perlu dipahami dulu pengertian-pengertian yang ada dalam undang-undang ini.

  1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
  2. Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi .
  3. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
  4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Persoalan yang timbul dalam pengertian-pengertian yang ada dalam UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen manakala dikaitkan dengan pelayanan kesehatan adalah :

Pertama, Undang-undang perlindungan konsumen memberikan batasan yang luas tentang siapa yang disebut dengan konsumen dengan penekanan konsumen adalah konsumen akhir (end user) sedangkan UU 23/1992 tentang kesehatan tidak memberikan batasan yang jelas tentang pengertian pasien. Dengan demikian bila digunakan penafsiran ekxtensif (perluasan makna kata) maka pasien dapat disejajarkan dengan konsumen.

Kedua, Batasan pelaku usaha dalam undang-undang perlindungan konsumen dapat disimpulkan secara implisit adalah orang atau badan hukum yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui kegiatan komersial, disinilah pokok perdebatannya karena posisi rumah sakit dan seluruh tenaga kesehatan tidak semata-mata bertujuan untuk mencari keuntungan akan tetapi merupakan institusi pelayanan umum yang tetap mengutamakan fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan MENKES 282/MENKES/SK/III/1993 yang menyatakan bahwa prinsip sosial ekonomi adalah azas dalam pengelolaan kegiatan rumah sakit dengan memperhatikan fungsi sosial dan kaidah ekonomi. Perbedaan pandangan ini tidak bisa dilihat secara hitam putih , karena faktanya menempatkan posisi rumah sakit yang tidak jelas.

Ketiga, Pengertian Jasa dalam kaitannya dengan jasa pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan:[3]

    1. Jasa pelayanan kesehatan yang menyangkut komoditi bidang kesehatan misal obat, alat kesehatan atau barang produksi lain yang digunakan oleh sarana kesehatan;
    2. Jasa pelayanan administratif atau fasilitas yang berupa kemudahan dan pelayanan yang biasanya terangkum dalam tarif .
    3. Jasa pelayanan kesehatan yang berupa pemeliharaan kesehatan yang terkait dengan tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam PP 32/1996.

Penulis berpendapat bahwa menurut Undang-undang perlindungan konsumen, pasien dapat disamakan dengan konsumen karena hakekatnya adalah pengguna layanan jasa. Jasa pelayanan kesehatan termasuk dalam cakupan pengertian jasa dalam UU 8/199. Sedangkan kedudukan Rumah Sakit (beserta tenaga kesehatan) tidak dapat disamakan persis dengan pelaku usaha karena memang ada perbedaan karakterisitiknya.

  1. C.   Hak , Kewajiban dan Pertanggung jawaban Para Pihak

Masalah pertanggung jawaban para pihak khususnya tenaga kesehatan termasuk tenaga kefarmasian dapat dicermati baik menurut UU 8/1999 maupun UU 23/1992. P UU 8/1999 mengatur secara rinci hak dan kewajiban konsumen sebagai berikut:

Pasal 4 Hak  konsumen adalah:

  • Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
  • Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan  nilai tukar dan kondisi jaminan yang dijanjikan;
  • Hak atas informasi yang benar , jelas dan jujur mengenai  kondisi dan jaminan barang atau jasa;
  • Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang dan atau jasa yang digunakan;
  • Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan da upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen secara patut;
  • Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagai mana mestinya;
  • Hak hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5 Kewajiban Konsumen adalah:

  • Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
  • Beritikad baik melakukan transaksi barang dan atau jasa;
  • Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  • Mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut.

UU 23 /1992 mengatur hak-hak pasien sebagai berikut:

  • Hak untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal ( pasal 4);
  • Hak atas informasi ( informed consent);
  • Hak atas rahasia kedokteran;
  • Hak atas pendapat kedua atau second opinion (pasal 53);
  • Hak untuk memilih sarana kesehatan yang diinginkan  (pasal 53);
  • Hak atas ganti rugi atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (pasal 55).

Sedagkan kewajiban pasien antara lain:

  • Setiap orang berkewajiban untuk ikut dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan,  keluarga dan masyarakat (pasal 5)
  • Pasien berkewajiban membayar jasa pelayanan.

Bila dicermati kedua undang-undang tersebut sudah memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi konsumen, akan tetapi UU 23/1992 memang hanya mengatur secara garis besarnya, sedangkan UU 8/1999 mengatur lebih rinci demikian juga pengaturan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dan 7 UU 8/1999 sebagai berikut:

Pasal 6

Hak Pelaku Usaha adalah :

  • Hak untuk menerima pembayaranyang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  • Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  • Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa  konsumen;
  • Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan;

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah:

  • Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  • Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  • Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan sesuai dengan standar mutu barang dan jasa yang berlaku;
  • Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi atas barabg dan jasa yang diperdagangkan;
  • Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan atau pemanfaatab barang dan jasa yang diperdagangkan;
  • Memberi kompensasi, gantirugi dan atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan sesuai dengan perjanjian.
  1. D.   Bentuk Pertanggung jawaban Tenaga Kesehatan

Adanya pertanggungjawaban baik tanggung jawab profesi maupun tanggungjawab hukum dalam suatu hubungan hukum mengemuka manakala salah satu pihak melakukan perbuatan yang berakibat merugikan pihak lain. Tenaga kefarmasian yang lingkup pekerjaannya diatur dalam pasal 63 UU 23/1992 meliputi pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi. Tenaga kefarmasian sebagai tenaga profesional yang memenuhi syarat-syarat tertentu maka selain tunduk pada aturan perundangan juga tunduk pada standar profesi sebagai acuan dalam menjalankan tugasnya. Permasalahan pertanggungjawaban tenaga kefarmasian secara mutatis mutandis disamakan dengan dokter maka apabila melakukan kelalaian ataupun kesalahan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum perdata, pidana dan administrasi. Dasar pertanggungjawaban secara perdata berdasar pada pasal 1365 , 1367 KUHPerdata serta Pasal 54 dan 55 UU 23/1999. Sedangkan pertanggungjawaban pidana didasarkan pada pasal 386, 359 dan 360 KUHPidana. Khusus untuk tenaga kefarmasian ada aturan yang lebih jelas sanksi pidana sebagai mana diatur dalam:

Pasal 80 angka 4

b. barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope indonesia dan atau buku standar lainnya diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta rupiah;

Pasal 81 angka 2

c. barang siapa mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa ijin edar diancam pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak 140 juta rupiah;

Pasal 82 angka 1

d. barangsiapa tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pekerjaan kefarmasian diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta rupiah.;

Pasal 82 angka 2

Barang siapa dengan sengaja:

b.memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar ;

c. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar ;

d. mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar;

e. memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar;

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta rupiah.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kefarmasiaan dapat dipertanggungjawabkan menurut ketentuan hukum perdata dan pidana serta hukum administrasi, manakala perbuatannya memenuhi rimusan dalam undang-undang tersebut.

UU 8 /1999 secara tegas mengatur tanggung jawab pelaku usaha sebagai berikut:

Pasal 19

  • Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

Selain itu undang-undang perlindungan konsumen menganut pembuktian terbalik atau beban pembuktian  adanya kesalahan dibebankan pada pelaku usaha sebagaimana dicantumkan dalam pasal 22 dan 28 UU 8/1999. Filosofi yang mendasari ketentuan ini adalah adanya anggapan bahwa kedudukan pelaku usaha lebih tinggi baik secara ekonomi maupun sosial daripada konsumen, selain itu juga didasarkan pada asas bahwa pelaku usaha harus berhati-hati terhadap keamanan barang atau jasa yang diperdagangkannya.

  1. E.   Simpulan
  • Keberadaan undang-undang perlindungan konsumen merupakan wujud nyata dari itikad baik pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.
  • Tenaga kefarmasian , sama seperti profesi lainnya tidak kebal terhadap aturan-aturan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana , perdata maupun administrasi;
  • Keberadaan undang-undang perlindungan konsumen seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman akan tetapi  dipandang sebagai rambu-rambu yang akan mengingatkan tenaga kefarmasian untuk selalu menjalankan tugasnya pada arah yang benar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

[1] Pengajar pada program Sarjana dan Pasca sarjana, Fakultas Hukum , Universitas Brawijaya Malang.

 

[2] Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung , 1998, h.92-93.

[3] Budi Yahmono, UU Perlindungan Konsumen dan Dampaknya terhadap Pelayanan Kesehatan, Fatmawati Journal of Health Sciences, April 2001, h 106-107.

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK YANG DIPAKAI SEBAGAI NAMA DOMAIN (DOMAIN NAME)

 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK YANG DIPAKAI SEBAGAI NAMA DOMAIN (DOMAIN NAME)

Oleh :

YULIATI,SH.,LL.M[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

A . Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi sejak akhir 1990-an telah membawa perubahan terhadap pola hubungan antar manusia. Penggunaan sarana internet dalam bertransaksi telah membawa dimensi baru dalam perdagangan , yang tidak lagi ada keharusan untuk bertemu secara langsung antara penjual dan pembeli, akan tetapi cukup menggunakan sarana internet maka transaksipun bisa dilakukan.

Penggunaan sarana internet dalam perdagangan secara on-line, juga dikenal di Indonesia misalnya banyak situs-situs internet yang berkedudukan di Indonesia melakukan layanan pembelian secara on-line misalnya www.sanur.com, www.tokolg.com, www.florist.com dan sebagainya. Selain melakukan transaksi perdagangan biasa ada juga situs-situs yang memberikan kemudahan melakukan transaksi perbankan misalnya www.klikbca.com. Kemudahan-kemudahan dalam bertransaksi tersebut bukannya tanpa resiko, baik bagi pelaku usaha maupun bagi konsumen, karena ternyata perkembangan teknologi internet juga menimbulkan bentuk kejahatan yang berdimensi baru misalnya penipuan dengan menggunakan kartu kredit (carding) , perusakan sistem pengaman situs (hacking), pembajakan nama domain (cyberpiracy), penyerobotan nama domain (cybersquatting), penggunan nama domain yang mirip atau hampir sama ( typosquatting).

Timbulnya berbagai kejahatan berdimensi baru tersebut terjadi selain disebabkan oleh perkembangan teknologi  internet, juga  karena belum adanya undang-undang yang secara substansial dapat menjangkau kejahatan tersebut, sedangkan kerugian yang diderita oleh korban secara nyata telah terjadi. Hal ini dapat dicermati dari banyaknya  kasus penyalahgunaan sarana internet misalnya Kasus carding (penipuan dengan menggunakan kartu kredit) kasus kopitime.com, e-buy.com, perusakan situs POLRI (hacking)[2] dan penyerobotan nama domain mustikaratu.com.[3]

Dari kasus-kasus yang terjadi, penerapan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang Khusus di luar hukum pidana tampaknya belum mampu menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Misalnya pada kasus mustikaratu.com ternyata aturan hukum yang ada dalam KUHP  maupun Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat tidak dapat diterapkan.[4]

Penentuan suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di Indonesia disandarkan pada pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan:” tiada suatu perbuatan  dapat dipidana tanpa ada ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan” . Ketentuan tersebut dikenal juga sebagai azas legalitas yang penerapannya secara kaku sering kali membuat hukum pidana selalu tertinggal dari kejahatan. Ketentuan asas legalitas yang pada dasarnya menyatakan bahwa penentuan adanya tindak pidana harus diatur lebih dulu oleh undang-undang, undang-undang tidak boleh berlaku surut serta tidak boleh adanya penafsiran secara analogis membuat hukum pidana Indonesia tidak berdaya dalam menghadapi kejahatan di dunia maya (cyber space). Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan, karena ketiadaan norma akan sangat merugikan bagi masyarakat pengguna internet apalagi bagi korban kejahatan ini.

Di negara lain , misalnya Amerika Serikat telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang kejahatan ini yang termuat dalam the Lanham Act  15 U.S.C sub section 1114, 1116, 1125 dan 1129 [5] serta Anti cybersquatting Consumer Protection act 1999 yang berlaku efektif pada tanggal 29 November 1999.[6]

Fokus pembahasan dalam artikel ini adalah  penyalahgunaan merek sebagai nama domain yang biasa dikenal dengan istilah cyberpiracy dan cybersquatting.

  1. Permasalahan

Dari uraian dalam latar belakang penulis mencoba merumuskan  pokok permasalahan sebagai berikut:

Apakah tindakan Cybersquatting dan  Cyberpiracy dapat dikategorikan melanggar hukum merek  di Indonesia ?

C. Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan Internet

Sejarah perkembangan teknologi informasi , khususnya teknologi internet tidak bisa dilepaskan dari sejarah perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada masa perang dingin.[7]Kondisi ini memunculkan ide untuk membuat jaringan telekomunikasi yang tetap bisa bertahan bila sewaktu-waktu   terjadi perang nuklir, hal ini diawali dengan pendirian Advanced Research Project Agency Network (ARPANET) yang merupakan jaringan yang menjadi penghubung antara US Department of Defence (DoD) dengan para peneliti militer di University of California Los Angeles (UCLA), University of California Santa Barbara (UCSB ), The Standford Research Institute( SRI) serta University of Utah pada tahun 1968-1969. Sampai dengan tahun 1972 ARPANET mempunyai 72 hubungan dengan berbagai universitas di Amerika serta NASA. Pada saat itu ARPANET hanya melayani transfer file, email, telenet.[8]

Selanjutnya dikembangkan penelitian yang dapat menghubungkan antar jaringan komputer atau biasa dikenal dengan Packet Network yang akhirnya dikenal sebagai TC (transmission Control atau IP (Internet Protocol). Tahun 1983 University of Wisconsin menggunakan nama untuk server mereka, sehingga pengguna internet tidak perlu lagi menghafal alamat sebenarnya dari server , penggunaan nama inilah yang disebut dengan istilah Domain Name.[9]

Sebagai tindak lanjut adanya Domain Name ini maka dikembangkan sistem pengaturan Nama Domain  atau Domain Name System (DNS) untuk pengaturan pemakaian Nama Domain , Sedangkan pihak yang berwenang menerima pendaftaran Nama Domain adalah IANA (The Internet Assigned Numbers Authority ) yang merupakan kelompok ahli yang bekerja di the Institute of Scientific Information (ISI) pada University of Southern California dan dipimpin oleh Jon Postel, salah seorang perintis teknologi internet.[10]Berkaitan dengan jangkauan yang luas dari internet maka wewenang pendaftaran nama domain dilimpahkan pada the Internet Network Information Centres (INICs), yang didirikan di negara-negara yang mengembangkan teknologi internet dan berwenang untuk menerima pendaftaran nama domain pada wilayah masing-masing negara. Misalnya di Perancis ada NICFrance, di Jerman ada DENIC, di Inggris ada Nominet, di Australia ada ADNIC, di Indonesia ada IDNIC dan seterusnya.[11]

2. Pengertian Nama Domain ( Domain Name)

Yang dimaksud dengan Domain Name adalah nama yang mudah diingat dan digunakan oleh pengguna internet untuk menemukan situs sebagai pengganti Internet Protocol Addresses  yang menyediakan akses ke suatu situs dan biasanya terdiri dari satu  serial angka-angka.[12] Nama Domain terdiri dari 3 komponen yaitu:[13]

  1. The Second Level Domain yaitu nama yang letaknya setelah www. adalah nama yang unik yang menunjukkan alamat situs, biasanya merupakan nama orang, perusahaan atau singkatan nama perusahaan pemilik situs misalnya: <.rudihadisuwarno>, <.detik>, <.bii> dan lain-lain.
  2. The Generic Top Level Domain (gTLD)  adalah huruf yang menunjukkan jenis organisasi dari pemilik situs. Misalnya: <com> untuk organisasi komersial, akan tetapi sekarang juga digunakan untuk situs yang tidak memiliki kekhususan, <.edu> atau <.ac> untuk intitusi pendidikan, <.gov> untuk badan pemerintahan, <.net> untuk Penyedia layanan jaringan , <org> untuk berbagai organisasi,<.mil> untuk institusi militer.
  3. The country code Top Level Domain (ccTLD) adalah huruf yang mengacu pada lokasi negara tempat pendaftaran nama domain tersebut. Misalnya: <.id> untuk Indonesia, <.jp> untuk Jepang, <.my>untuk malaysia, <.nl> untuk Belanda dan sebagainya.
  1. Perkara yang berkaitan dengan Nama Domain

Sampai saat ini belum ada  istilah yang disepakati  untuk menyebut perkara pidana maupun perdata yang menggunakan sarana internet, ada yang menyebut cyber crime[14], computer crime[15], unlawful conduct involving the use of internet,[16]computer related crime.[17]

Jenis-Jenis perkara yang menggunakan sarana internet ini pada umumnya digolongkan dalam dua kelompok:

  1. merupakan tindak pidana konvensional artinya sudah ada dari dulu ,akan tetapi modus operandinya melalui sarana internet. Misalnya penipuan  dengan menggunakan kartu kredit, pornografi melalui internet, penjualan barang-barang terlarang melalui e-commerce.
  2. b.            tindak pidana atau pelanggaran  hukum yang memang berkaitan dengan perkembangan internet baik yang menyangkut sistem pengaman maupun data base dari suatu situs dan penyalahgunaan merek sebagai nama domain.

Penulis bermaksud membatasi kajian pada penyalahgunaan merek sebagai nama domain yang terdiri dari : cyberpiracy atau domain name hijacking dan cybersquatting.

Yang dimaksud dengan cyberpiracy atau domain name hijacking adalah penggunakan merek terkenal atau mirip-mirip merek terkenal sebagai Nama Domain oleh orang yang tidak berhak yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis.[18]

Sedangkan yang dimaksud dengan cybersquatting adalah mendaftarkan situs dengan memakai nama atau merek orang lain secara tanpa hak sebelum pemilik yang sah mendaftarkan, kemudian berusaha untuk menawarkan situs tersebut kepada orang atau pemilik merek yang bersangkutan dengan harga yang sangat tinggi.

  1. Persoalan Merek yang berkaitan dengan Nama Domain

Ada beberapa persoalan yang mendasar berkaitan dengan konsepsi merek dan nama domain manakala suatu merek juga dipakai sebagai nama domain. Yang pertama adalah konsep dasar, fungsi, sistem pendaftaran dan perlindungan hukum.

Definisi merek yang diberikan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) adalah: ”Trademark as any sign that individualizes the goods of a given enterprise and distinguishes them from goods of its competitor”[19] Sedangkan  pasal 15 TRIPs menyatakan:

“Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or service of one undertaking from those of ather undertakings, shall be capable of constituting a trademarks. Such signs, in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs shall be eligible for registration as trademark . . .

Pengertian dalam Pasal 15 TRIPs ini diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dalam Pasa 1 angka 1 UU 15/2001 sebagai berikut :

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.

Dari konsep dasar tersebut nampak jelas bahwa merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda. Konsep ini sangat penting untuk diperhatikan karena tidak  setiap tanda layak dipakai dan  didaftarkan sebagai merek. Penentuan apakah suatu tanda layak dipakai dan didaftarkan sebagai merek, pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan dari WIPO yang secara garis besar meliputi[20] :

  1. Kata, termasuk nama perusahaan, nama seseorang, nama tempat atau kata-kata yang ditemukan atau dibuat;
  2. Huruf dan angka, baik satu huruf  atau lebih atau kombinasi keduanya;
  3. Simbol, termasuk gambar serta bentuk dua dimensi dari kemasan barang;
  4. Kombinasi dari poin 1,2,3, tersebut diatas;
  5. Warna , yang merupakan bagian dominan dari merek;
  6. Tanda yang berbentuk tiga dimensi atau aspek kemasan dari barang, misalnya tanda tiga bintang Mercedes Benz atau botol Coca-Cola.
  7. Suara, ada 2 kategori suara yang dapat dijadikan merek, yang pertama bila suara tersebut dapat didiskripsikan dalam notasi musik, yang kedua suara lain, dalam hal ini hanya Amerika Serikat yang mengakui suara sebagai bagian merek dengan diterimanya pendaftaran deru motor besar Harley-Davidson;
  8. Bau, atau biasa disebut olfactory marks yaitu bau yang khas dari suatu produk yang dapat dikenali oleh konsumen, dalam jal ini hanya Amerika Serikat yang sudah mengabulkan permohonan merek berdasarkan bau, yaitu untuk benang jahit dan benang rajut yang berbau buah plum;

Dari konsepsi dasar tersebut diatas dapat dikatakan bahwa merek adalah keterangan yang menunjukkan identitas atau asal barang, sedangkan nama domain hanyalah semata-mata alamat yang dipakai sebagai alamat surat seperti di dalam kehidupan nyata. Persoalan akan timbul apabila merek juga dipakai sebagai nama domain, karena dalam dunia perdagangan merek juga mengacu pada kualitas barang dan reputasi produsen (brand image). Sedangkan dalam nama domain tidak harus berkaitan dengan barang atau jasa, hal inilah yang kemudian berpotensi sebagai konflik karena dalam pemakaian nama domain tidak ada batasan seperti dalam pemakaian merek.

Persoalan kedua berkaitan dengan fungsi merek. Secara  tradisional salah satu  fungsi merek adalah untuk melindungi konsumen dari persaingan curang, dengan melarang pemakaian merek yang dapat menyesatkan konsumen. Dalam praktek perdagangan yang konvensional hal tersebut telah diatur dalam Ps.  akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan terhadap pemakaian domain name yang mirip-mirip karena banyak domain name tersebut tidak berkaitan dengan kegiatan perdagangan (mengiklankan, menawarkan, menyediakan barang atau jasa) akan tetapi hanya semata-mata mendaftarkan nama domain tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anette Kurr, 1998, The Domain Name vs Trademark Dilema, http://www.intellecprop.mpg.de.

Agus Raharjo, 2002, Cyber crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan berteknologi Tinggi, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Barda Nawawi Arif,2001, Antisipasi Penanggulangan cybercrime dengan hukum pidana, Citra Aditya Bhakti.

Brian Firtzgerald et.al, Marketing Your Website: Legal Issues Relating to the Allocation of Internet Domain Names, UNSW Journal Vol 21 no.2 , 1998.

Introduction to Trademark Law and Practices, a  Basic Concepts, 1988,  WIPO Training Manual, Geneva.

Imam Syahputra, 2002, Problematika Hukum Internet di Indonesia, Prehallindo, Jakarta.

Michael Handler,2000, Internet Domain Names and Trademark Law, http://wwwlaw.murdoch.edu.au.

Patrick Gunning, 2000, Trademarks and Domain Names, cyberlaw resources, http://www.austlii.edu.au.

Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, Pelatihan Legal Memorandum, Universitas Udayana, 2001.

Rapin Mundiarjo, Yurisdiksi Kejahatan dalam Internet, Konvergensi nomor 01, Agustus 2000.

Rebecca Rohan, What’s in a name, Black Enterprise Journal,Vol 30(10), May 2000.

Ronny nitibaskara, Pidana Khusus cybercrime, Kompas, 10 mei 2000.

The Electronic Frontier: the Challenge of unlawful Conduct Involving the Use of the Internet, http://www.usdoj.gov

Bertahan Hidup di Sarang Penyamun Internet, Warta Ekonomi, no.9/5maret 2001

 

 

 

 


[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

[2] Bertahan Hidup di Sarang Penyamun Internet, Warta Ekonomi, no.9/5maret 2001

[3] Imam Syahputra, 2002, Problematika Hukum Internet di Indonesia, Prehallindo, Jakarta, h.157.

[4] Ibid, h.157-199.

[5] Brian Firtzgerald et.al, Marketing Your Website: Legal Issues Relating to the Allocation of Internet Domain Names, UNSW Journal Vol 21 no.2 , 1998, p.4.

[6] Rebecca Rohan, What’s in a name, Black Enterprise Journal,Vol 30(10), May 2000, h.60-62.

[7] Agus Raharjo, 2002, Cyber crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan berteknologi Tinggi, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.61.

[8] ibid.

[9] Ibid. h.73.

[10] Anette Kurr, 1998, The Domain Name vs Trademark Dilema, http://www.intellecprop.mpg.de.

[11] Ibid.

[12] Patrick Gunning, 2000, Trademarks and Domain Names, cyberlaw resources, http://www.austlii.edu.au.

[13] Michael Handler,2000, Internet Domain Names and Trademark Law, http://wwwlaw.murdoch.edu.au.

[14] Ronny nitibaskara, Pidana Khusus cybercrime, Kompas, 10 mei 2000.

[15] Rapin Mundiarjo, Yurisdiksi Kejahatan dalam Internet, Konvergensi nomor 01, Agustus 2000.

[16] The Electronic Frontier: the Challenge of unlawful Conduct Involving the Use of the Internet, http://www.usdoj.gov

[17] Barda Nawawi Arif,2001, Antisipasi Penanggulangan cybercrime dengan hukum pidana, Citra Aditya Bhakti,h.8

[18] Brian Fritz Gerald ,  opcit

 

[19] Introduction to Trademark Law and Practices, a  Basic Concepts, 1988,  WIPO Training Manual, Geneva, h.46

[20] Ibid, hal 16-17.

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,

TINJAUAN HUKUM DAN PELANGGARAN-PELANGGARAN TERHADAP HAK CIPTA DALAM KARYA ILMIAH DI INDONESIA

 TINJAUAN HUKUM DAN PELANGGARAN-PELANGGARAN TERHADAP HAK CIPTA DALAM KARYA ILMIAH DI INDONESIA[1]

OLEH:

YULIATI,SH., LLM

yuliaticholil@ub.ac.id

Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Penulisan dan Pengajuan Karya ilmiah untuk mendapatkan copyright, 28 Agustus 2004,FMIPA, Universitas Brawijaya

A. Konsep Dasar Hak Cipta

Hak cipta pada dasarnya telah dikenal sejak dahulu kala, akan tetapi konsep hukum hak cipta baru dikenal di Indonesia pada awal tahun 80-an. Bila dilihat dari sejarahnya ada dua konsep besar tentang hak cipta yang pada akhirnya saling mempengaruhi yaitu: Konsep Copyrights yang berkembang di Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Hukum Common Law dan Konsep Droit d’Auteur yang berkembang di Perancis dan negara-negara yang menganut Sistem Hukum Civil Law.

Konsep Copyrights yang lebih menekankan perlindungan hak-hak penerbit dari tindakan penggandaan buku yang tidak sah dapat di telusuri dari berlakunya dekrit Star Chamber pada tahun 1556 yang isinya menentukan ijin pencetakan buku dan tidak setiap orang dapat mencetak buku.[2]Aturan hukum yang lain yang secara tegas melindungi hak penerbit dari tindakan penggandaan yang tidak sah adalah Act of Anne 1709 yang dianggap sebaga peletak dasar konsep modern dalam hak cipta.[3]

Sedangkan konsep droit d’ auteur lebih ditekankan pada perlindungan atas hak-hak pengarang dari tindakan yang dapat merusak reputasinya. Konsep ini didasarkan pada aliran hukum alam yang menyatakan bahwa suatu karya cipta adalah perwujudan tertinggi (alter ego) dari pencipta dan pencipta mempunyai hak alamiah untuk memanfaatkan ciptaannya. Konsep ini berkembang pesat setelah revolusi Perancis tahun 1789, konsep ini meletakkan dasar pengakuan tidak saja hak ekonomi dari pencipta akan tetapi juga hak moral.[4]

Pengertian atau konsep hak cipta yang berkembang pada masa sekarang adalah  hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi ketentuan dalam undang-undang yang berlaku.[5]

B. Konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Cipta

1. Berne Convention

Pengaturan hak cipta pertama kali melalui perjanjian multilateral diwujudkan dalam Berne Convention tahun 1886 sebagaimana telah direvisi di Paris 1971, merupakan perjanjianmultilateral yang pertama dan utama tentang hak cipta. Berne convention ini lah yang meletakkan dasar aturan tentang lingkup perlindungan hak cipta, kepemilikan hak cipta,  hak-hak pencipta, jangka waktu perlindungan hak cipta dan pengecualian hak cipta.[6]

Berne Convention juga meletakkan tiga prinsip dasar yaitu:[7]

Pertama: National Treatment artinya Perlindungan yang sama bagi karya cipta warga negara  sendiri maupun warga negara lain peserta konvensi;

Kedua, automatically Protection artinya pemberian perlindungan hak cipta dapat dilakukan tanpa adanya pendaftaran secara formal;

Ketiga, Independent protection artinya pemanfaatan dan perlindungan ciptaan di negara lain tidak bergantung pada perlindungan di negara asal ciptaan.

 2. Universal Copyrights Convention

Universal Copyrights Convention 1952 merupakan konvensi dibawah administrasi UNESCO yang tujuannya adalah memfasilitasi negara-negara yang belum mau bergabung dengan Berne convention.[8] Konvensi ini juga menganut 3 prinsip dasar dalam Berne Convention, akan tetapi memberikan syarat yang lebih lunak dalam hal pengaturan pengakuan hak moral.

3. Rome Convention 1971

Rome Convention di bentuk karena adanya perkembangan teknologi rekaman suara yang memungkinkan penggandaan secara mudah, massal dan dengan kualitas yang sama. Rome convention ini memberikan dasar perlidungan bagi pihak-pihak yang terkait dalam penyebaran hak cipta atau yang biasa dikenal dengan Neighboring Rights.[9]

C. Pengaturan Hak Cipta menurut Ketentuan TRIPs

TRIPs atau Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights merupakan lampiran dari persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO) yang disahkan pada tanggal 4 April di Marrakesh. Maroko dalam putaran Uruguay. Tujuan dari perjanjian TRIPs ini adalah Meningkatkan perlindungan HKI dalam produk perdagangan, Menjamin prosedur pelaksanaan HKI yang tidak menghambat perdagangangan, Merumuskan aturan dan disiplin pelaksanaan perlindungan HKI.

Perjanjian TRIPs ini mewajibkan negara peserta untuk mengakui 3 (tiga ) konvensi dasar dalam HKI yaitu Berne Convention, Paris Convention dan Washington Treaty. Konvesi ini juga memberlakukan 3 prinsip dasar yang berlaku bagi perlindungan semua jenis HKI yaitu:

National Treatment artinya Anggota akan memberikan kepada warga negara anggota lain perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negara sendiri menyangkut perlindungan HKI.[10]

Most Favoured Nation artinya Dalam perlindungan HKI, setiap keringanan, keistimewaan, dan hak untuk didahulukan atau pengecualian yang diberikanoleh satu negara anggota akan diberikan dengan langsung dan tanpa syarat kepada warga negara lain dari seluruh anggota.[11]

Minimal Standart artinya perjanjian ini telah menetapkan standar minimal yang harus dipatuhi dalam pengaturan HKI seperti ruang lingkup perlindungan, jangka waktu perlindungan, prosedur perolehan hak dan pemanfaatan HKI.[12]

Aturan- aturan dasar yang berkaitan dengan hak cipta diatur dalam ketentuan pasal 9 sampai dengan pasal 14 TRIPs. Aturan tersebut meliputi: hak cipta dan hak-hak terkait, perlindungan program komputer, hak persewaan, jangka waktu perlindungan, pengecualian, perlindungan terhadap  artis penampil, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran. Aturan dasar dalam TRIPs ini telah diakomodasi dalam UU 19/2002 tentang hak cipta

  1. Pengaturan Hak Cipta di Indonesia

Pengaturan hak cipta di Indonesia diawali dengan diberlakukannya UU 6/1982 tentang Hak cipta yang kemudian diamandemen sebanyak 3 kali sampai pada berlakunya UU 19/2002 tentang hak cipta. Hal baru yang diatur dalam UU 19/2002 adalah diaturnya hak Persewaan atau rental rights yang memang belum pernah diatur dalam undang-undang hak cipta terdahulu. Selain itu UU 19/2002 tentang hak cipta  juga menempatkan pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindak pidana biasa, bukan delik aduan sebagai mana dianut dalam UU hak cipta terdahulu serta memberikan kesempatan bagi pencipta dan pemilik hak cipta untuk mempertahankan haknya melalui gugatan perdata ataupun tuntutan pidana.

Pasal 1 angka 1 UU 19/2002 menyatakan: “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.

 Hak cipta pada hakekatnya adalah perjanjian antara pencipta dengan pihak lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak  ciptaannya. Konsekuensi logis dari definisi ini adalah:

  1. Peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral HKI hanyalah sebagai administrator, akan tetapi tidak menerbitkan atau memberikan hak seperti paten. Hal ini tercermin dalam sistem pendaftaran hak cipta yang bersifat Negatif Deklaratif artinya Setiap orang yang mendaftarkan karya ciptanya dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya;
  2. Pendaftaran ciptaan bukanlah suatu keharusan, karena tanpa  pendaftaranpun karya cipta secara otomatis sudah mendapatkan perlindungan hukum (Pasal 2). Adapun cara yang diakui secara internasional sebagai berikut[13]:
  • Untuk karya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra cukup dengan membubuhkan tanda Ó disertai nama pencipta dan tahun penerbitan.
  • Untuk karya rekaman (audio dan audiovisual) dengan membubuhkan tanda P atau N didalam lingkaran disertai tahun penerbitan.
  • Untuk memperkuat pengakuan perlindungan hak cipta dapat ditambahkan maklumat “Todos los derechos reservados” /“All Rights Reversed”[14]

1. Jenis Ciptaan yang di lindungi

Konsep dasar perlindungan hak cipta yang terdapat dalam Konvensi Berne maupun dalam TRIPs mengakui bahwa ciptaan yang layak mendapat perlindungan hukum manakala ciptaan tersebut merupakan ekspresi atau perwujudan dari ide.[15]Selain itu syarat keaslian atau originality dari ciptaan juga harus terpenuhi., artinya ciptaan haruslah mempunyai bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi dari si pencipta karena ciptaan adalah perwujudan ego tertinggi ( alter ego) dari si pencipta.[16]  Dikotomi antara ide dan ekspresi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Ide bisa berupa apa saja dan berasal dari mana saja. Misalnya tentang tenggelamnya matahari di pantai Kuta- Bali yang merupakan peristiwa alam yang secara biasa, akan tetapi peristiwa yang biasa ini bisa menjadi suatu karya yang luar biasa manakala ide matahari tenggelam itu diwujudkan dalam karya cipta musik. Dari ide itu di tangan  Iwan Fals maka akan menjadi lagu Mata Dewa, sedangkan kenangan peristiwa tersebut oleh  Andre Hehanusa digambarkan dalam lagu Kuta Bali. Oleh karena itu dalam suatu proses kreativitas amat mungkin ide-ide dasarnya sama akan tetapi ekspresi dari ide tersebut yang berbeda, dan itulah yang mendapat perlindungan hak cipta. Syarat lain yang harus dipenuhi agar suatu ciptaan dapat diberikan perlindungan hak cipta adalah ciptaan tersebut dalam bentuk yang nyata(bukan hanya gagasan), karya cipta itu dapat dilihat, dibaca ataupun didengar.[17]

 Undang- undang telah menetapkan secara limitatif jenis ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra sebagai berikut (ps.12 UU19/2002):

  • Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
  • Seni rupa, dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
  • Arsitektur;
  • Peta;
  • seni batik;
  • fotogafi;
  • Sinematografi;
  • Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Sedangkan jangka waktu berlakunya hak cipta berdasarkan obyeknya, secara umum adalah selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia kecuali, program komputer, sinematografi, data base dan karya pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Sedangkan hak cipta atas susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertamakali diterbitkan.

2. Hak-Hak Pencipta

Hak Pencipta dan atau pemegang hak cipta dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah mengijinkan atau melarang orang lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya. Hak ekonomi dari pencipta yang diatur dalam konvensi Berne hanyalah hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan, seiring dengan perkembangan teknologi rekaman baik rekaman suara( audio) maupun rekaman suara dan gambar (audiovisual) yang semakin canggih maka menimbulkan hak ekonomi bagi para pihak yang tidak menghasilkan karya cipta akan tetapi membantu menyebarkan karya cipta, hak ini dikenal dengan hak-hak yang terkait dengan hak cipta (neighbouring rights).Hak-hak terkait ini dimiliki oleh artis penampil, produser rekaman dan lembaga penyiaran.

Hak ekonomi ini meliputi hak penggandaan ( reproduction right); hak penyebarluasan (distribution right); hak adaptasi (adaptation Right) yang meliputi hak penerjemahan, hak dramatisasi, hak film ; hak pertunjukan ( performance Right): hak atas rekaman suara (Mechanical Right); hak atas program siaran ( broadcasting right).[18]

Sedangkan hak moral adalah hak  yang melekat pada pencipta , yaitu hak untuk selalu  dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan  hak atas keutuhan ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul.hak moral ini secara eksplisit diatur dalam pasal 24 UU 19/2002. Hak moral ini tidak bisa dialihkan kepemilikannya seperti hak ekonomi. Hak moral ini merupakan hak yang akan mengikuti karya cipta kemanapun karya cipta itu beralih, hak ini biasa disebut dengan Droit de suite karena tetap melekat pada ciptaan walaupun kepemilikan ciptaan tersebut sedah berpindah tangan.

3. Pembatasan dan pengecualian hak cipta

Pemanfaatan hak cipta tidaklah sepenuhnya bersifat monopoli seperti paten, karena ada pembatasan-pembatasan dan pengecualian-pengecualian yang berdasarkan pada pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat (fair dealing)[19], yang tidak termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU 19/2002 sebagai berikut:

Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta:

    1. Pengumuman dan atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
    2. Pengumuman dan atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh dan atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika karya cipta itu diumumkan dan atau diperbanyak;
    3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:

  1. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
  2. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
  3. Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan:

(i)                 ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau ;

(ii)               pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;

  1. Perbanyakan suatu   ciptaan  bidang ilmu pengatahuan, seni dan sastra dalam huruf braille guna keperluan tuna netra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
  2. Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
  3. Perubahan yg dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, eseperti  ciptaan bangunan;
  4. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

4. Pelanggaran Hak cipta

            Pelanggaran hak cipta pada dasarnya ada 2 (dua )hal yaitu pelanggaran terhadap hak moral dan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta.

Pelanggaran atas hak ekonomi pencipta hal ini diatur dengan jelas pasa pasal 72 UU 19/2002 tentang hak cipta  dapat di rumuskan sebagai berikut:[20]

No

PASAL

SANKSI PIDANA

JENIS PERBUATAN

PENJARA

DENDA(rupiah)

1 72(1) 7 tahun 5 Milyar Dengan sengaja dan tanpa hak: mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan , atau membuat , memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar pertunjukkan atau memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara dan rekaman bunyi.
2 72(2) 5 tahun 500 Juta Dengan sengaja menyiarkan , memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
3 72(3) 5 tahun 500 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer
4 72 (4) 5 tahun 1 Milyar Dengan sengaja melakukan pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keuangan negara, kesusilaan serta ketertiban umum
5 72 (5) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja memperbanyak, mengumumkan potret seseorang tanpa izin orang yang dipotret atau ijin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia; dan tanpa ijin atau melanggar klarangan lembaga penyiaran untuk memperbanyak, mebuat dan atau menyiarkan ulang siaran yang dilindungi melalui transmini dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektronik lainnya
6 72 (6) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak mencantumkan nama pencipta pada ciptaan; atau mengubah isi suatu ciptaan, judul ciptaan dan anak judul ciptaan.
7 72 (7) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta
8 72 ( 8) 2 tahun 150 Juta Dengan sengaja dan tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi sarana teknologi sebagai pengaman hak pencipta
9 72 (9) 5 tahun 1 Milyar Dengan sengaja dan tanpa hak tidak memakai semua peraturan perijinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam penggunaan sarana produksi berteknologi tinggi khususnya di bidang cakram optik (optical disc)

 

 

 

Sedangkan pelanggaran hak moral diatur dalam pasal 24 UU 19/2002 tentang hak cipta.

Pasal 24

(1)   Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.

(2)   Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.

(4)   Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.

 

5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

 Undang-Undang hak cipta juga memberikan pilihan mekanisme bagi pencipta dan atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya dengan 3 (tiga) cara yaitu:

  1. Melalui gugatan perdata , sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU 19/2002 yang menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan perdata, yang meliputi gugatan ganti rugi, permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran serta permohonan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan dari pelanggaran. Selain itu pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara[21] dari hakim agar memerintahkan pelanggar menghentikan segala kegiatan pelanggaran hak cipta agar tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta.Gugatan perdata ini dapat di ajukan di Pengadilan Niaga[22] yang berkedudukan di 5 (lima) kota besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta,Semarang, Surabaya dan Makassar. Sedangkan pelanggaran atas hak moral dari pencipta tetap dapat diajukan oleh pencipta atau ahli warisnya bila pencipta telah meninggal dunia.

Melalui tuntutan pidana, pengajuan gugatan perdata dalam pelanggaran hak cipta tidak menggugurkan hak negara untuk melakukan tuntutan pidana.

  1. Pilihan yang terakhir adalah pemanfaatan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Altenatif Dispute Resolution) yang meliputi Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Eddy Damian, 2003, Hukum Hak Cipta, edisi kedua, PT Alumni-Bandung.

M. Djumhana dan R. Djubaedillah, 1993,Hak Kekayaan Intelektual ( Sejarah, Teori dan Praktek) di Indonesia, Citra Aditya Bakti- Bandung.

Peter Drahos, 1996, A Philosophy of Intellectual Property, Dart-Sydney.

William R Cornish ,1999, Intellectual Property, Fourth Edition, Sweet Maxwell- London.

WIPO Backgroud Reading Material on IPR, 1998, Geneva.

UU 19/2002 tentang Hak Cipta

 


[1] Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Penulisan dan Pengajuan Karya ilmiah untuk mendapatkan copyright, 28 Agustus 2004,FMIPA, Universitas Brawijaya.

 

[2] Peter Drahos, A Philosophy of Intellectual Property, Dart-Sydney, 1996, h 23

 

[3] ibid, h.24

 

[4] M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual ( Sejarah, Teori dan Praktek) di Indonesia, Citra Aditya Bakti- Bandung, 1993, h. 38

 

[5] Pasal 1 angka 1 UU 19/ 2002 tentang Hak Cipta

 

[6] WIPO Backgroud Reading Material on IPR, op.cit. h 230-233

 

[7] Ibid

 

[8] William R Cornish, Intellectual Property, Fourth Edition, Sweet Maxwell- London, 1999, h. 347.

Negara-negara yang tidak mau ikut dalam Berne Convention termasuk Amerika Serikat dan ex Uni Sovyet dan memilih tunduk pada ketentuan UCC. Amerika Serikat baru meratifikasi Berne Convention tahun 1995 setelah berlakunya TRIPs.

 

[9] WIPO Reading Material. Op.cit, h 241-242

[10] Pasal 3 TRIPs

 

[11] Pasal 4 TRIPs

 

[12] Bagian II TRIPs.

[13] Ketentuan dari Universal Copyrights Convention 1952.

 

[14] Ketentuan Konvensi Pan Amerika Revisi Havana 1928.

 

[15] Pasal 9 TRIPs ayat 2 perlindungan hak cipta akan meliputi pengekspresian dan tidak meliputi ide, gagasan, prosedur, metode kerja dan konsep matematika.

 

[16] Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, edisi kedua, PT Alumni-Bandung, 2003, h.132

 

[17] Penjelasan pasal 1 angka 1 UU 19/2002 tentang Hak cipta

[18] M. Djumhana dan R. Djubaidillah, op.cit h. 51-54.

 

[19] The existing notion of fair dealing reflects cultural values relating to the use of material in the interests accsess for the purposes of those concerned with the preservation and promotion of learning, culture, knowledge and ideas ,CLRC, Copyrights Reform : A Consideration of Rationales, Interest and Objectives, 1993, h.13

 

[20]Eddy Damian, op.cit, h 34.

[21] Pasal 67 UU 19/2002

 

[22] Pasal 59 UU 19/2002

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,

COMPUTER SOFTWARE PROTECTION IN AUSTRALIA

COMPUTER SOFTWARE PROTECTION IN AUSTRALIA

YULIATI.,SH.LLM[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

Published on Arena Hukum Law Journal , May 2005

ABSTRACT

The impact of technology on copyright law has become a foremost issue in recent times since computer software is an important component of these new types of property. There are three reasons that we must look at copyrights law related to the rapid changing in technology. Firstly, whatever we feel about the computer technology, it is here we are to stay. Secondly, there is no doubt that copyright concept which came from 18th century does not proper anymore, therefore it may be useful to reform the old idea to comply with new digital world. Finally, copyright is important because the new technology increases creativity in the arts and sciences, moreover it also can change the way we think.

Keyword: copyright , computer software

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 I. INTRODUCTION

“The system of copyright has great advantages and great disadvantages, and it is our business to ascertain what these are, and then to make an arrangement under which the advantages may be as far as possible secured, and the disadvantages as far as possible excluded ” T.Macauley[2]There is little doubt that the development of science and technology have had a significant role on human life, some new inventions such as semi conductor chips and computer software have brought us into the information age.

Intellectual property is a very interesting field of law. It grows in line with the development of science and technology, particularly in the area of copyright law. Marret points out that the main purpose of intellectual property law is to give protection to all the tangible products of human intellectual creativity although sometimes it cannot be seen in fact it can be very valuable.[3]Welch argues that new technology such as computer software, semi conductors and biotechnology have greatly contributed to the United States income, however, those kinds of technology are very reluctant to infringes, and as a result, the United States looses enormous profit annually.[4]The impact of technology on copyright law has become a foremost issue in recent times since; computer software is an important component of these new types of property. Ploman and Hamilton indicate that computer software can be used to create a wide range of intellectual property products such as musical composition, works of visual art, architecture design; sound recording a so forth, conversely it also creates difficulties in copyright law related to the complexity of this subject.[5]However, it is important to study the changes of copyright law in the information age. Halbert observes that there are several reasons to quest the changing of copyright law. Firstly, whatever we feel about the computer technology, it is here we are to stay. Secondly, there is no doubt that copyright concept which came from 18th century does not proper anymore, therefore it may be useful to reform the old idea to comply with new digital world. Finally, copyright is important because the new technology increases creativity in the arts and sciences, moreover it also can change the way we think.[6]In addition, Welch claims that the main problem in copyright law is the enforcement. He asserts that the development of technology particularly in computer software not only has provided excellent software, which can operate easily, but also can be pirated easily.[7]It means that copyright protection will face serious problems in both legal aspects and technological aspects in the near future.

The aim of this essay is to look carefully at the significant changes on Australia Copyright Law concerning with the development of computer software through its legislation and the court decisions.

The study is presented in four parts. Part I introduces the significant relationship between the development of science and technology, particularly on computer software and its impact on copyright law. Part II explains briefly the nature of copyright and the development of computer software. Part III examines carefully the copyright legislation in Australia and its amendments. It also presents some copyright cases related to computer software in Australia compared to American cases, in order to know whether copyright protection is sufficient for computer software. Finally, it draws some conclusions in relation to the best protection for computer software.

 

 

II. THE NATURE OF COPYRIGHT

2.1. The Basic Concepts of Copyright

Copyright is the most challenging part of intellectual property law. Intellectual property law protects the property rights in creative works and inventive discoveries. Intellectual property law gives creators and inventors an exclusive right to obtain economic benefit, generally for a limited time.Copyright does not protect the ideas but the expression of the ideas. Moreover it also protects a wide range of subject matter from the simple one such as train timetable, to the sophisticated such as computer software. Furthermore, it also involves different kinds of professions such as authors, publishers, artists, sound recording producers, film producers, broadcasters, computer programmers and so on.[8]It is useful therefore, to know the basic concept of copyright before discussing it in more detail. Mc Keough and Stewart point out that the most important aspect of copyright is the right of the owners to commercialize the works and the sufficient legal protection for their works.[9]

In discussing the basic concepts of copyright, it would be valuable to know the two different concepts, which influence determining the owner of a copyrighted works. Firstly, the concept of copyright which grew in England. Copyright legislation in England gave legal protection for the publisher of books against unauthorized copying.[10] The Statute of Anne is the first statute that regulates copyright was passed in 1709 and came into force on 10 April 1710. The purpose of this act as stated on the preamble, for the encouragement of learning, simultaneously sought to satisfy:

(i) The demands of the stationers’ company by restoring to them the sole right to print books then printed for a period of 21 years;

(ii) The demands of authors and their assigns for recognition of their sole right to print books not yet printed, published or “that shall hereafter be composed” for a term of 14 years from the date of publication. After the expiration of the 14-year term, the sole right of printing or disposing of copies return to the author, if living, for another term of 14 years. Thus, the statutory copyright was not being limited to the members of the guild, and it was not to exist in perpetuity.

(iii) the public interest in the supply  of cheap books by providing that any bookseller or booksellers, printer or printers, shall…set a price rate as shall be conceived by any person or persons to be too high and unreasonable; it shall be and may be lawful for any person or persons to make complaint thereof to the Archbishop of Canterbury, Lord Chancellor (or to a member of specified dignitaries of church and bench) who were given powers to inquire into the price and “to limit or settle the price of every such printed book…according to the best of their judgments.”[11]It can be seen that the concept of copyright in England gave protection to the publisher and regulated the book trade, from which this statute copyright system is established.

Secondly, the basic concepts that grew in the mainland of Europe particularly in French. Halbert points out that protection of copyright in French were based on natural right which is recognized as an exclusive right to the author as a creator.[12]However, both concepts go along in further development. In addition, Ploman and Hamilton argue: “In a modern approach the differences between two concepts are not important, since they are expressed less in the level of protection provided than in the formulation of rights.”[13]

There are several reasons that deal with copyright protection. Ploman and Hamilton indicate that, Firstly, base on common social justice, the author not only has the right to gain economic benefit from his or her works but also has moral rights. Secondly, based on economic reason, the existence of copyright protection makes it easier to exploit their works. Meanwhile, based on cultural progress, copyright protection will encourage the author to create new works and thus it will benefit the society as well as the country.

2.2. Definition of Computer Software.

Copyright is a type of property that is founded on a person’s creative skill and labor.[14]It is undeniable that new technology such as computer software has great influence on copyright law, particularly concerning subject matter of protection and authorship. It can be traced through several cases regarding computer software, which occurred either in the United States or in Australia. The court decisions in those cases give clear description as to the interpretation of copyright law.

Computer software is a new type of property that caused long debates related to the scope of protection and the type of protection. The Model Provision on the Protection of Computer software prepared by the World Intellectual Property Organization defines software generically, as including:

(i) “computer program” means a set of instructions capable, when incorporated in a machine-readable medium of causing a machine having information-processing capabilities to indicate, perform or achieve a particular function, task or result;

(ii)”program description” means a complete procedural presentation in verb, schematic or other form, in sufficient detail to determine a set of instructions constituting a corresponding computer program;

(iii) “Supporting material” means any material, other than a computer program or program description, created for aiding the understanding or application of a computer program. For example problem descriptions and user instructions;

(iv) “Computer software” means any or several of items referred to in (i) to (iii).[15]

Meanwhile, section 101 the United States Copyright Act 1976(amendment 1980) states that: “computer program is a set of statements or instructions to be used directly or indirectly in a computer in order to bring about a certain result.”[16]Moreover section 10(1) Australia Copyright Act 1968 defines:” software as set of instructions or statements which can be used with a computer to perform some function”.[17]

 

III. COMPUTER SOFTWARE PROTECTION IN AUSTRALIA

3.1. Overview on Copyright Law in Australia

In Australia, such as in any other intellectual property right acts, the copyright act is also derived from the United Kingdom Copyrights statutes. The first copyright act in the United Kingdom was the United Kingdom Fine Arts Copyright Act 1862, this act regulated protection for copyright. Since 1912, Australia has had a copyright act although it was similar to the United Kingdom Copyright Act 1911[18]. In 1958 Australia ratified the Bern Convention, thus the Copyright Act was amended in order to comply with the Bern Convention provisions. The new copyright act was enacted in 1968 and came into force on May 1969.[19]This Act has been amended several times, relating to the extent of subject matter of protection and also some new rights which are not been covered by this act. Blakeley points out that there are further reasons to change the Australia Copyright Act. Firstly, the development of science and technology has significantly contributed to change in copyright law. Secondly, Australia has become a member of some international agreements; consequently, Australia has to change its copyright law in line with these agreements. Finally, because Australian Copyright law follows the English tradition, it requires a new approach in order to harmonize with the Continental European copyright tradition.[20]

There are some basic principles under the Copyright Act 1968 namely; subject matter of protection, originality, ownership, infringement and defense.[21]This essay is only focused on subject matter and originality.

In respect of subject matter of protection, Christie asserts that the Copyright Act 1968 is very complicated and unfair.[22] Based on the Copyright Act 1968, there are three kinds of subject matter: works, subject matter than works and performances.[23]

Subject matter is categorized as works: literary, artistic, dramatic, and musical works.[24] Section 10 the Copyright Act 1968 states as follows:[25]

Literary works includes:

(a) A table, or compilation, expressed in words, figures or symbols (whether or not in a visible form); and

(b) A computer program or compilation of computer program.

Artistic Works means:

(a) A painting, sculpture, drawing, engraving or photograph, whether the work is of artistic quality or not;

(b) A building or a model of a building, whether the building or model is of artistic quality or not; or

(c) A work of artistic craftsmanship to which neither of the last two proceeding paragraphs applies;

Dramatic Works includes:

(a) A choreographic show or other dumb show; and

(b) A scenario or script for a cinematography film.

This current legislation does not define musical works, however it is stated on previous the Copyright Act 1905 section 4: “any combination of melody and harmony, or either of them”.[26]

Subject matter other than works includes sound recordings, cinematography films, broadcast, and published editions.[27]

The other category of subject matter of protection is subject matter other than works, which includes, sound recordings, cinematography films, television broadcast and sound broadcasts, published editions. Section 10(1) states:[28]

Sound recording means the aggregate of the sounds embodied in a record.

Cinematography film means the aggregate of visual images embodied in an article or thing to be capable by the use of that article or thing:

(a) Of being shown as a moving picture; or

(b) Of being embodied in another article or thing by the use of which it can be so shown;

In addition, includes the aggregate of the sound embodied in a soundtrack associated with such visual images.

Broadcast means transmit by wireless telegraphy to the public.

Another category of subject matter is performances, Section 27 states that:[29]

(1) Subject to this section, a reference in this Act to performance shall:

(a) be read as including a reference to any mode of visual or aural presentation, whether the presentation is by the operation of wireless telegraphy apparatus, by the exhibition of cinematography film, by the use of a record or by other means; and

(b) In relation to lecture, address, speech, or sermon-be read as including a reference to delivery;

Moreover, a reference in this Act to performing a work or an adaptation of a work has a corresponding meaning.

In respect of term of protection, each subject matter has a different duration. The Copyright Act gives the longest protection for subject matter, which is classified as Works for the rest of the author’s life, and 50 years after death, however, it does not apply for photography since it only lasts protection for 50 years after the first publication.[30]Meanwhile, this Act also gives different duration for subject matter other than works. All subject matter which fits in with other than works have protection for 50 years after first publication ( sound recording and cinematography) and 50 years after first made ( television broadcast and sound broadcast), but this legislation only provides protection for 25 years after first publication for published editions.[31]

Based on the classification of copyrighted works, the right of the owner is also different. The owner of literary, musical and dramatic works has exclusive right:” To reproduce the works in  a material form, to publish the works, to perform the works in public, to broadcast the works, to cause the works to be transmitted to subscribers to a diffusion service, to make an adaptation of the work, to do ,in relation to work that is adaptation of the first-mentioned work, any of the acts specified in relation to the first mentioned work in sub-paragraphs(i) to(v) inclusive”.[32]Meanwhile, the owner of the artistic work has an exclusive right :” To reproduce the work in a material form, to publish the work, to include the work in a television broadcast, to cause a television programs that includes the works to be transmitted to subscribers to a diffusion service”.[33]Moreover, the right of the owner of subject matter other than works is divided into four categories. Firstly, the owner of sound recording has an exclusive right: “to make a copy, to cause the recording to be heard in public, to broadcast, to enter into a commercial rental arrangement”. Secondly, the owner of cinematography film has exclusive right:” to make a copy, to perform in public, to broadcast, to cause the film to be transmitted to subscribers to a diffusion service”. Thirdly, the owner of television and sound broadcasts has exclusive right:” to make a copy of such a film or such a sound recording, to re-broadcast”. Finally, the owner of the published editions has exclusive right:” to make by a means that includes a photographic process, a reproduction of the edition”.[34]

In order to obtain copyright protection, there two requirements that must be satisfied. Firstly, the works must be original, Mc Keough and Stewart point out that the most important thing concerning originality is that the work must not be copied from another work entirely.[35]In the University of London Press LTD v University Tutorial Press Ltd., Peterson J said:” Copyright Acts are not concerned with the originality of ideas, but with the expression of thought, and, in the case of “literary work”, with the expression of thought in print or writing. The originality that is required relates to the expression of thought. But the Act does not require that the expression must be in an original or novel form, but that the work must not be copied from another work-that should originate from the author”.[36]Secondly, the work must have connecting factors. Based on the Copyright Act 1968, there are some different connecting factors, which depend on the subject matter of protection.[37]It also states in Article 32 the Copyright Act 1968:

Original works in which copyright subsists

(1) Subject to this Act, copyright subsists in an original literary, dramatic, musical, or artistic work that is u published and of which the author:

(a) Was a qualified person at the time when the work was made; or

(b) If making of the work extended over a period- was a qualified person for a substantial part of that period.

(2) Subject to this Act, where an original literary, dramatic, musical or artistic work has been published:

(a) Copyright subsists the work; or

(b) If copyright in the work subsisted immediately before its first publication-copyright continues to subsist in the work; if, but only if:

(c) The first publication of the work took place in Australia;

(d) The author of the work was qualified person at the time when the work was first published; or

(e) The author died before that time but was a qualified person immediately before his or her death.

(3) Notwithstanding the last preceding subsection but subject to the remaining provisions of this Act, copyright subsists in;

(a) An original artistic work that is a building situated in Australia, or;

(b) An original artistic work that is attached to, or forms part of, such a building.

(4) In this section, qualified person means an Australian citizen, an Australian protected person, or a person resident in Australia.[38]

To sum up, In order to obtain copyright protection in Australia, a work must be original, intangible or in material form and has connecting factors.

3.2. Computer Software Protection under Copyright Law 

The following part, presents the main problem concerned with the protection of computer software under copyright law. It covers the interpretation of computer software, and the difficulty in distinguishing between idea and expression of idea. Ricketson and Richardson assert that there is no certain definition for computer software, although the Copyright Act recognizes it as a literary works, however, the interpretation of computer software in the court is different.[39]

It is quite clear that the development of computer software has had great impact on copyright law, since it creates difficulties to be classified into subject matter of copyright protection. The term computer software or program  can be describe in many kind of different material from video games to scientific programs.  A program is executed by the central processing unit (CPU) of the computer, which is the center of control for arithmetical and logic operations within the microprocessor[40]. The computer can use the program if it has the ability of reading the program.

It is important to know the nature of the program in order to identify the most appropriate protection for computer software. Three stages usually are followed by the programmer to develop a program[41]. Firstly, the programmer decides on a structure of the program by defining what kind of program will be created, what computer language will be applied, and how the program will be operated. Secondly, the programmer designs a set of procedure to solve the problem, usually in a schematic, mathematical, or logical framework. Thirdly, the programmer translates the program into computer language, which is called “the source code” of the program, and then the source code translates into “object code” which consists of a binary or hexadecimal through the compiler.  Radack maintains that:” Instructions for computer are written by human being is special programming language that the computer can process, Should this computer program be considered the writing of an author? The computer reads the program as electronic impulses from magnetic tapes. Is writing, which is invisible to the human eye, copyrightable?”[42]Conversely, Clapes explains that:” Almost pure thought stuff. Castle in the air. Gratifies creative longings. The ultimate creative medium. A tangible form of dreams and imagination. Magic and mystery. Simplicity and elegance. So beautiful you could hang it on the wall. Trying to create a perceptual impression. A combination of both art and science. A lot of subconscious activity. The best software comes from the realm of intuition, that is the kind of property we call computer software”.[43] It is clear enough that the first stage of developing a program cannot be protected by copyright since it relates to conceptual arrangement of idea. In contrast, the second stage can be protected by copyright as it is an expression of idea. However, it is not easy to define whether the third stage can be protected by copyright because the copyright concept only grant protection to the expression of idea which is done by human being and intangible forms, whereas the third stage is being done by a machine and it also can not be seen, since a program is a series of bits, each bit representing the presence or absence of a pulse and it may be stored in a chips. In addition, Halbert maintains that the law faces difficulties to provide sufficient protection for computer software because of its different nature from traditional works. The various stages in developing a computer program cannot be maintained by the law since the interpretation of computer software is uncertain case-by-case basis.[44]

It is undeniable that the role of the United States to promote protection of software under intellectual property regime through either the World Intellectual Property Right Organization (WIPO) or GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) has succeeded.[45] It continues to strengthening in the latest GATT round in which intellectual property has become a special issue in Uruguay round 1994, As a result, under the TRIPs agreement all member countries shall provide adequate protection on intellectual property. Article 10.1 TRIPs provides that computer programs shall be protected as literary works under the Bern Convention 1971. This provision confirms that computer programs must be protected under copyright and that those provisions of the Bern Convention. In addition, it also confirms that the form in which a program is, whether in source code or object code, does not affect the protection.[46]

The problem that arises concerning with computer software is whether a program can be treat as a literary work. The first Australia case regarding computer software was Apple case[47], the plaintiff is Apple computer Inc., and the defendant is Computer Edge. Beaumont J, in his decision said that a computer program does not fit with the meaning of literary works on the Copyright Act 1968. His honor said that:” a “literary work” is something intended to afford information, instruction, or pleasure in the form of literary enjoyment”.[48]This decision has raised warm debate; as a result, the Copyright Act was amended in 1984.

The Copyright Amendment Act 1984 recognized that computer program is a literary work, thus it can be protected under the Copyright Act. Section 10 (1) define computer program as:

An expression in any language, code, or notation of a set of instructions (whether with or without related information) intended, either directly or after either or both of the following:

(1) A conversion to another language, code, or notation.

(2) Reproduction in a different material form,

To cause a device having digital information processing capabilities to perform a particular function.[49]However, the definition of computer program does not state clearly whether object code can be protected under the Copyright Act or not, but the High court confirmed that source code could be protected by the Copyright Act.[50]

Another problem regarding computer software is the difficulties in drawing a line between the idea and the expression of idea when the infringement occurs. This problem has raised endless debate in not only Australia but also primarily in America.

In America the famous case, concerning the dichotomy between the idea and the expression of idea is Whelan v. Jaslow  the facts of case are as follows:

Jaslow Lab was searching for a computer system to administer the business part of its dental laboratory. Jaslow entered into an agreement with the Strohl Systems Group to develop custom-made software. Both agree that Strohl should be allowed to market the program. Ms.Whelan, a Strohl employee, then designed the dentalab program written in the EDL computer program language. Later, Ms. Whelan left Strohl and started her own computer business. Whelan Associates acquired  the rights in Dentalab from Strohl. Jaslow Lab and Whelan Associates consented to the further development of the system. Under the contract, Jaslow would receive a share of all sales in the program. Jaslow then developed a program with the same functions as Dentalab in the BASIC language, suitable for smaller computers (Dentcom program). Jaslow Lab terminated the contract with Whelan, claiming all rights in both the Dentalab and the Dentacom program. Jaslow Lab sued Whelan Associates for misappropriation of trade secret. Whelan Associates responded with an action before the US District, alleging copyright infringement of the Dentalab program. The District court found for Whelan Associates. It held that Jaslow’s Dentcom program infringed Whelan’s Dentalab program although Dentacom was not a direct translation of Dentalab.[51]In this case the Court define that the structure, sequence, and organization of a program as its expression and the function control is the idea.[52]

Another case concerning computer program is Lotus v.Paperback. In this case Lotus alleged that Paperback infringed the Lotus program. The Court found that the whole idea to establishing an electronic spreadsheet was uncopyrightable but the appearance of menu structure and graphic presentation was copyrightable.[53]

From the two cases it can be said that the Court implied different interpretation relating to dichotomy between idea and expression of the idea. In previous case, the Court seems to be broader  on its interpretation of idea, in contrast, in  later case the court seems to be narrower on its interpretation of  ideas.

In Australia, the definition of a computer software in the Copyright Act amendment 1984, which came into  test during the dispute that arose between Autodesk and Dyason. The summary of the case as follows: The first applicant is Autodesk Inc., a Californian company whose a computer program called “ AutoCAD”. The AutoCAD program can be used to produce Architecture drafting and  engineering plans. The second applicant is Autodesk Australia Pty Ltd, a Victorian company that holds an exclusive license from Autodesk Inc. The AutoCAD program is sold in a package including a hardware device  called AutoCAD lock. The purpose of this device is to prevent an unauthorized person  running the program, as The AutoCAD program cannot operate without AutoCAD lock. The respondent developed an alternative device  called Autokey lock, which has the same function as The AutoCAD lock. The applicant alleged that the AutoCAD lock was infringed by Dyason.[54]It cannot be argued that this case is controversial, since the reasoning and the decision of  the Courts were different. “At  first instance, Northrop J held that the fact  the two devices performed the same function was indicative of the objective similarity of the devices for copyright purposes.”[55] The decision on appeal at Full Federal Court was different, the majority of judges held that: “ Widget C and the AutoCAD lock together constituted a program, but that there had been no reproduction of this by the Autokey lock, which although it performed the same function as the AutoCAD lock, did not have sufficient degree of objective similarity to AutoCAD for the purposes of infringement of copyright.”[56] The decision on appeal at High Court, was that the majority agree that the respondent infringed the AutoCAD lock, however, The High court had a different reason to Full Federal Court. Dawson J argues that : “ It is not, in my view, necessary that the reproduction of a substantial part of a computer program should itself be a computer program within the meaning of the definition of “computer program” in this act. Perhaps undue attention was given in the courts below to the locks in question to ascertain whether either or both contained a computer program. For Widget C is a computer program and a substantial, indeed essential, part of that program is the look up table in the EPROM, which is uses. The EPROM contains a set of digits, which is identical with the set of digits produced by the look up table when read as Widget C read it. In effect, both Widget C and the Auto Key lock contain the same look up table”.[57] In brief, it can be said that the problem concerned with computer software under the copyright law is very complicated, and is not only related to the distinction between  idea and expression of idea, but also reproduction.

The most recent amendment related to computer software is the Copyright Amendment( Computer Programs) Act 1999, which came into force in 30 September 1999.[58] There are two important points, which are added in the current legislation. Firstly, it allows the owner or the licensee make a reproduction of computer program. Secondly, it provides reproduction for interoperability.

The new amendment allows the owner or licensee of a computer program( or a person acting on their behalf) to make the following reproductions of computer programs:[59]

– A reproduction during the normal use of the program ( i.e. in the course of running a copy of program for the purpose for which it was designed). This does not apply if such a reproduction would be contrary to an express direction or license from the copyright owner [ s.47B(1) and(2)];

– A reproduction in the course of running a lawful copy for the purpose of studying the ideas behind the program and the way in which it functions [s.47B(3)];

– A back up copy of computer program [s.47C]; or

– a reproduction for purpose of correcting an error in the original copy that prevent it from operating as intended by the author, or in accordance with specifications. The reproduction must only be made to the extent necessary to correct the error, and if an error-free version is not available within a reasonable time at an ordinary commercial price.

Section 47 D provides that a reproduction or adaptation:

a) Must be made by or on behalf of, the owner or licensee of the copy of the computer program;

b) must be made for the purpose of obtaining information necessary to enable the owner or licensee to make independently another program, or an article, to connect to and be used together with, or otherwise to interoperate with, the original program or any other program;

c) Must be made only to the extent reasonably to obtain the information referred to in (b).

To sum up, it can be seen that the interpretation on copyright concepts in Australia goes along the advance of technology.

 

IV. CONCLUSION

It is inevitable that the advance progress of  science and technology has a great impact  on many aspects including law. In respect of Copyright, which is arguable  the most dynamic part of intellectual property right, it changed significantly in line with the rapid grow of technology,  especially information technology.Computer software is the most important element of  new property that has changed the traditional concept of copyright. The nature of computer software has created difficulties to the court to interpret the concept of subject matter of protection, the scope of protection and the ownership.

The interpretation of computer software has arisen endlessly debate, since the interpretation is always changing, and is  heavily relied on a case-by-case basis.In respect of Australia, the Copyright Act has been amended several times. There are two important amendment concerning with computer software under the Copyright Act. Firstly, the Copyright Act Amendment 1984 which recognizes computer software as a subject matter of protection under copyright law. Secondly, the Copyright Act Amendment ( Computer Program)1999 that allows reproduction of computer program under certain circumstances and allows make a recompilation of a computer program.However, the most important thing that the development of computer software has created new concepts in copyright law. In addition, it also provides a new approach to how  copyright law needs to be kept in  pace with  technology.

 

BILBIOGRAPHY

An overview of  the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, http://www.wto.org, p.3.

 

Blackmore, Nicholas, “Debugging the Application: Copyright Protection for Software in Australia”, Australian Intellectual Property Journal, Volume 10, May 1999.

 

Blakeney, Michael, Bringing Australian Copyright Law into Global Age, Murdoch University Electronic Journal of Law, Vol.5, No.1,March, 1998. http://www.murdoch.edu.au/law/issue/v5n/blake51.html,p.1

 

Carr, Henry and Richard Arnold, “Computer Software Legal Protection in the United Kingdom”, 2nd edition, Sweet&Maxwell, London, 1992.

 

Christie, Andrew, Simplyfying Australian Copyright Law-the Why and the How, Australian Intellectual Property Journal, volume 11, February 2000.

 

Davies, Gillian, Copyright and the Public Interest, IIC Studies, Volume 14, the Max Planck Institute, Munich, 1994.

 

Drexl, Josef, What is Protected in a Computer Program? Copyright Protection in The United States and Europe, IIC Studies, volume 15, Max Planck Institute, Munich, 1994.

 

Halbert, Debora,  Intellectual Property in the Information Age, the Politics expanded ownership rights, Quorum Books, Westport, Connecticut, 1999.

 

Marret, Paul, Intellectual Property Law, Sweet & Maxwell, London,1996.

 

Marzouk,  Tobey, Protecting Your Proprietary Rights in The Computer and High Technologies Industries, Computer Society Press, Washington D.C, 1988.

 

Mc Keough, J and Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, 2nd edition, Butterworth, Sydney, 1997.

 

Ploman, Edward and Clark Hamilton,  Copyright Intellectual Property in the Information Age, Routledge and Keegan Paul, London, 1990.

 

Ricketson, S and Richardson, Intellectual Property Cases, Material and Commentary, 2nd edition, Butterworth, Sydney, 1998.

 

Legislation

Copyright Law in Australia, A Short Guide, http://law.gov.au/publications/copyrighhtaus99.

Copyright in Computer Software, Bulletin Australia Copyright Council , no.38, 10 November 1981.

Copyright Amendment ( Computer Programs) Act 1999, http://www.sea.net.au/law/updates/990104.

 

Case

Autodesk Inc. v. Dyason(1992) 173 CLR 330 F.C. 92/001, http://www.austlii.edu.au/cgi-bin/disp.pl/cases/cth.

 

 


[1] Lecturer at Law Faculty, Brawijaya University.

 

[2] Davies, Gillian, “Copyright and the Public Interest”, IIC Studies, Volume 14, the Max Planck Institute, Munich, 1994, p.1.

 

[3] Marret,Paul,” Intellectual Property Law”, Sweet & Maxwell, London,1996, p.1

 

[4] Welch, Marshall, “International Protection Of Intellectual Property”, Journal of Texas Intellectual Property law, http://www.utexas.edu/law/journal/tipj/vollis/welch.htm, p.1.

 

[5] Ploman, Edward and Clark Hamilton, “  Copyright Intellectual Property in the Information Age”, Routledge and Kegan Paul, London, 1990, p.173.

 

[6] Halbert, Debora, “ Intellectual Property in the Information Age, the Politics expanded ownership rights”, Quorum Books, Wesport, Connecticut, 1999, p.xi,xii

 

[7] see supra note 2, at p.3.

[8] Ricketson, S and Richardson, “ Intellectual Property Cases, Material and Commentary”, 2nd edition, Butterworth, Sydney, 1998, p.55.

 

[9] Mc Keough, J and Andrew Stewart, “Intellectual Property in Australia”, 2nd edition, Butterworth, Sydney, 1997, p. 119.

 

[10] see supra note5, p. 2-5.

[11] see supra note 1, p.8-9.

 

[12] see supra note 5, p 9.

 

[13] see supra note 4, p.26

 

[14] Copyright Law in Australia, A Short Guide, http://law.gov.au/publications/copyrighhtaus99,p.2.

 

[15] “Copyright in Computer Software”, Bulletin Australia Copyright Council , no.38, 10 November 1981,p.2.

 

[16] Marzouk, Tobey, “Protecting Your Proprietary Rights in The Computer and High Technologies Industries”, Computer Society Press, Washington D.C, 1988, p.21.

 

[17] Copyright Act 1968, sec 10(1).

 

[18] see supra note 7, p.66.

 

[19] Ibid,p.66-67

 

[20]Blakeney, Michael, “Bringing Australian Copyright Law into Global Age”, Murdoch University Electronic Journal of Law, Vol.5, No.1,March, 1998. http://www.murdoch.edu.au/law/issue/v5n/blake51.html,p.1

 

[21] see supra note 7, p.89, see also supra note 8,p. 119-120

 

[22] Christie, Andrew, “Simplyfying Australian Copyright Law-the Why and the How”, Australian Intellectual Property Journal, volume 11, February 2000, p.40.

 

[23] ibid,p.42.

 

[24] ibid.

 

[25] Section 10 Copyright Act 1968.

 

[26] see supra note 8, p.149.

 

[27] see supra note 22, p.43

 

[28] see supra note 25

 

[29] Section 27 Copyright Act 1968.

 

[30] Section 33 Copyright Act 1968.

 

[31] Section 93, 94, 95, 96 Copyright Act 1968.

 

[32] Section 31(1) a Copyright Act 1968.

 

[33] Section 31(1) b Copyrghrt Act 1968.

 

[34]Section 85, 86, 87, 88 Copyright Act 1968.

 

[35] see supra note 8, p.138.

 

[36] see supra note 7, p.104

 

[37]see supra note 8, p 166.

 

[38] Section 32 The Copyright Act 1968.

[39] see supra note 7, p. 125

 

[40] Carr, Henry and Richard Arnold, “Computer Software Legal Protection in the United Kingdom”, 2nd edition, Sweet&Maxwell, London, 1992, p.1.

 

[41] Blackmore, Nicholas, “Debugging the Application: Copyright Protection for Software in Australia”, Australian Intellectual Property Journal, Volume 10, May 1999, p.69-70. see also supra note 15, p.3, see also supra note 40, p.2-3.

[42] see supra note 4, p.168.

 

[43] see supra note 5, p. 52.

 

[44] see supra note 5, p.168

 

[45] see supra note 3, p. 5, see also supra note 8, p.227.

 

[46] An overview of  the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, http://www.wto.org, p.3.

 

[47] see supra note 8, p. 229.

 

[48] ibid.

 

[49] Ibid, p. 230.

 

[50] see supra note 40, p.71-72.

[51] Drexl, Josef, What is Protected in a Computer Program? Copyright Protection in The United States and Europe, IIC Studies, volume 15, Max Planck Institute, Munich, 1994, p.18-19.

 

[52] Ibid, 21.

 

[53] Ibid, 22.

 

[54] Autodesk Inc. v. Dyason(1992) 173 CLR 330 F.C. 92/001, http://www.austlii.edu.au/cgi-bin/disp.pl/cases/cth,p.2-3, see supra note 7, p.260-261.

 

[55] see supra note 8, p.232.

 

[56] see supra note 7, p.263

[57] see supra note 54, p.8.

 

[58] Copyright Amendment ( Computer Programs) Act 1999, http://www.sea.net.au/law/updates/990104.

 

[59] Intellectual Property and Competition Review Committee, Interim Report, April 2000, p.84.

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,

ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PELAYANAN PUBLIK

ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PELAYANAN PUBLIK

Oleh:

YULIATI,SH.,LLM

(yuliaticholil@ub.ac.id)

 

Pendahuluan

Bila kita cermati perkembangan produk-produk legislatif di Indonesia hampir semuanya mencantumkan sanksi pidana.[1] Pencantuman sanksi pidana tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek penjeraan (detterent) bagi pelaku tindak pidana, hal ini sah-sah saja dilakukan asalkan tujuan tersebut dapat diterapkan dengan effektif dan effisien. Akan tetapi yang patut untuk dicermati adalah ide dasar dari pencantuman sanksi pidana tersebut, apakah memang benar-benar di perlukan ataukah justru membuat suatu peraturan akan menghadapi kendala-kendala dalam penerapan dilapangan, terutama dalam upaya penanggulangan kejahatan, karena selama ini seakan –akan ada kesan bahwa suatu undang-undang dianggap “tidak punya gigi” apabila tidak disertai dengan sanksi pidana. Sedangkan terjadinya tindak pidana tidak bisa dilihat semata-mata bahwa tindakan tersebut memenuhi rumusan-rumusan dalam pasal-pasal suatu undang-undang, akan tetapi yang lebih penting dilihat adalah alasan penentuan suatu tindakan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana,oleh karena itu sebelum mencantumkan sanksi pidana haruslah diingat bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana sangat kompleks.

 

Posisi Negara sebagai Subyek Hukum Pidana

Berkaitan dengan ide pemberian sanksi dalam Rancangan Undang-Undang Pelayanan publik haruslah dipertimbangkan secara bijaksana, mengingat hubungan hukum dalam pelayanan publik lebih bersifat administratif, karena didasarkan pada kewajiban negara sebagai penyelenggara pemerintahan terhadap rakyat. Sedangkan hubungan hukum yang terjadi dalam tindak pidana lebih bersifat hubungan personal antara pelaku dan korban (bisa perorangan, kolektif atau negara) yang kepentingan hukumnya dilanggar oleh pelaku. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai fungsi sebagai berikut:[2]

  1. melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut;
  2. memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
  3. mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlidungan atas kepentingan hukum.

Terjadinya tindak pidana disebabkan  berbagai sebab, bukan hanya kegagalan pemerintah menjaga keamanan dan ketertiban akan tetapi juga adanya kesenjangan sosial, diskriminasi rasial dan politik, rendahnya standar hidup, pengangguran dan lain sebagainya. Oleh karena itu apabila Rancangan Undang-Undang pelayanan publik juga menerapkan sanksi pidana, maka haruslah diingat bahwa peran hukum pidana hanyalah sebagian kecil dari sarana kontrol sosial yang merupakan bagian kebijakan secara integral untuk menuju pemerintahan yang baik (good governance) yang mampu menjalankan peran pemerintahan secara maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu haruslah diingat bahwa hukum pidana juga mengandung keterbatasan-keterbatasan baik substansi maupun fungsinya.[3]

Dari segi substansinya: Hukum pidana positif Indonesia (KUHP) hanya mengenal penjatuhan pidana hanya kepada orang (pemidanaan individual) dan bukan pemidanaan yang bersifat struktural/fungsional, sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang pelayanan publik yang berpotensi melakukan tindak pidana adalah negara ( bisa institusi ataupun aparatnya). Beberapa Undang-Undang khusus diluar KUHP memandang bahwa subyek hukum pidana termasuk juga korporasi[4], misalnya Undang-undang 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Permasalahannya disini adalah apakah negara juga termasuk dalam kategori korporasi? Apakah korporasi juga bisa disamakan dengan pelaku usaha[5] seperti yang dicantumkan dalam Undang-undang 8/1999 tentang perlindungan konsumen dan rakyat disamakan dengan konsumen[6], kalau demikian halnya maka negara( institusi atau aparatnya) dapat dijatuhi pidana apabila melakukan tindak pidana.

Dari segi sifatnya, Van Bemellen menyatakan bahwa sifat hukum pidana adalah Ultimum remedium atau obat terakhir artinya penjatuhan sanksi pidana akan dilakukan apabila sanksi-sanksi hukum yang lain tidak dapat lagi diterapkan.[7]

Sedangkan dari fungsinya, bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi baik berupa undang-undang organik, instansi dan aparat pelaksananya, sarana dan prasarana maupun teknis operasional dilapangan.[8]

 

Doktrin Hukum  sebagai Wacana

Esensi dari hukum pidana adalah tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana ( criminal responsibility), sedangkan untuk penjatuhan pidana maka harus dipenuhi satu syarat lagi yaitu adanya satu kesalahan sehingga seseorang yang melakukan tindak pidana hanya akan dapat dijatuhui pidana apabila ia dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Ketentuan ini bersandar pada doktrin Geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik, mungkin ketentuan dalam doktrin hukum pidana tersebut dapat disimpangi, dengan memandang berbagai perkembangan yang terjadi di masyarakat. Asas pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan dalam kaitan dengan pelayanan publik adalah:

  1. Azas Strict Liability

Asas ini memandang bahwa ada alasan-alasan tertentu yang menyebabkan pelaku tindak pidana dianggap mutlak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk memperlakukan asas strict liability sebagai berikut:[9]

  1. Adalah essensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati;
  2. Pembuktian sikap batin petindak(mens rea) terhadap tindak pidana tertentu sanagt sulit;
  3. c.       Adanya suatu tungkat tinggi bahaya sosial dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut strict liability.

Di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law misalnya Amerika Serikat menerapkan azas ini dalam berbagai perundangan misalnya Undang-undang perlindungan Konsumen.[10]Asumsi dasar dari penerapan asas ini adalah pelaku usaha dianggap yang paling tahu tentang barang atau jasa yang dijual, sehingga apabila ada konsumen mengalami kerugian karena barang atau jasa tersebut ,maka pelaku usaha tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban hukum.

  1. Azas Vicarious Liability

Asas ini memandang bahwa seorang majikan atau seseorang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dianggap bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh karyawan / bawahannya. Pembebanan tanggung jawab ini dianggap sebagai resiko atas gagalnya pengawasan majikan atau orang yang kedudukannya lebih tinggi terhadap karyawan atau bawahannya.

  1. Doktrin Prolong Arm

Doktrin ini dikenal dalam hukum kesehatan yang menentukan beban pertanggungjawaban antara dokter dan orang-orang yang berada dibawah tanggungjawabnya apabila terjadi kelalaian dalam melaksanakan pengobatan. Dalam hal ini seorang dokter hanya bertanggung jawab sebatas instruksi yang diberikan kepada orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya.

  1. Malpraktek

Malpraktek, selama ini dipahami sebagai praktek yang buruk atau tidak sesuai dengan standar dalam bidang pelayanan kesehatan. Sebenarnya malpraktek dalam arti luas dapat diterapkan terhadap semua profesi termasuk juga bagi penyelenggara negara, seperti definisi malpraktek dibawah ini:

Malpractice: Professional misconduct or unreseaonable lack of skill. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumtances in the community by the average prudent reputable member of profession with the result of injury, loss or damages to the recipient of those services or those entiled to rely upon them.[11]

Malpraktek adalah tindakan profesional yang salah yang disebabkan kurangnya ketrampilan dan pengetahuan. Kegagalan pelaksanan layanan jasa profesional karena kurangnya ketrmpilan dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan rata-rata dalam pekerjaan sebagaimana yang diterapkan dalam kondisi yang sama dalam masyarakat oleh perkumpulan profesi yang bersangkutan yang menyebabkan luka, kerugian terhadap orang yang menerima layanan  jasa tersebut.

Dari rumusan definisi malpraktek tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya malpraktek dapat diterapkan terhadap semua bidang profesi termasuk layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu doktrin malpraktek dapat juga dipakai sebagai landasan dalam penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam lingkup layanan publik.

Simpulan

Penerapan sanksi pidana dalam RUU layanan publik perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kejelasan pengertian atau batasan tindak pidana dalam lingkup layanan publik.
  2. Perlu kejelasan dan kesamaan pandang tentang posisi negara baik sebai institusi atau aparatnya sebagai subyek hukum.
  3. Perlu dipertimbangkan bentuk pertanggungjawaban pidana bagi negara dalam layanan publik yang tentu saja berbeda dari pertanggungjawaban pidana pada umumnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bahan Pustaka

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian ke-satu, Raja Grafindo Pers, Jakarta.

Andi Hamzah, 1994,Asas-Asas Hukum Pidana(edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.

Barda Nawawi Arif,1998,  Beberapa Aspek Kebijakan dan Penegakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,Bandung

Henry Campell Black, 1990, Black’s Law Dictionary(bicentenial Edition), West Publishing, St.Paul Minn.

Z.A Abidin, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana,Pradnya Paramita, Jakarta.

US Consumer Protection Act 1999.

UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

UU 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

 

 

 


[1] Sebagai contoh UU 9/1985 tentang Perikanan, UU 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, UU 39/1999 tentang Telekomunikasi, UU 10/1995 tentang Kepabeanan, UU 23/1992 tentang Kesehatan, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas baru tanaman,  UU30/2000 tentang rahasia dagang, UU 31/2000 tentang desain industri, UU 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU 14/2001 tentang Paten, UU 14/ 2001 tentang merek, UU 19/2002 tentang hak cipta, UU 32/2002 tentang Penyiaran dan lain-lain.

[2] Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian ke-satu, Raja Grafindo Pers, h.15-16.

[3] Barda Nawawi Arif,1998,  Beberapa Aspek Kebijakan dan Penegakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,h.43-44.

[4] Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang teroganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum( pasal.1 angka 2 UU 15/2002).

[5] Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melaksanakan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.(ps.1 angka 3 UU 8/1999).

[6] Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain maupun mahluk hidup laid an tidak untuk di perdagangakan( Ps.1 angka 2 UU 8/1999).

[7] Andi Hamzah, 1994,Asas-Asas Hukum Pidana(edisi Revisi), Rineka Cipta, h.10.

[8] Barda Nawawi Arif, op.cit. h.46.

[9] Z.A Abidin, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana,Pradnya Paramita, h.41.

[10] lihat US Consumer Protection Act 1999.

[11] Henry Campell Black, 1990, Black’s Law Dictionary(bicentenial Edition), St Paul Minn,West Publishing,h.959.

 

 

 

 

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN HAK PATEN DAN HAK CIPTA UNTUK HASIL PENELITIAN DI PERGURUAN TINGGI

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN HAK PATEN DAN HAK CIPTA UNTUK HASIL PENELITIAN DI PERGURUAN TINGGI

OLEH: YULIATI,SH.,LL.M[1]

yuliaticholil@ub.ac.id

Legal Protection on Patent and Copyrights of Research Report, Discussion Paper, presented at National Seminar on IPR Socialization toward University Authority, Brawijaya University, Faculty of Basic Science, Biology Department, and 27 June 2003.

 

 

  1. A.   Pendahuluan

Perkembangan Hak Kekayaan Intelektual[2] dalam hampir satu dekade terakhir tidak dapat dipisahkan dari hasil-hasil Perjanjian Putaran Uruguay 1994, yang memasukkan Hak Kekayaan Intelektual sebagai salah satu issue baru yang terangkum dalam TRIPs (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rihgts) dalam perjanjian GATT ( General Agreement on Trade and Tariffs), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari  Perjanjian pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). [3]Indonesia sebagai salah satu negara peserta yang meratifikasi perjanjian ini mempunyai kewajiban untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs kedalam sistem hukum HKI Indonesia secara konsisten. Kewajiban ini direspon oleh pemerintah Indonesia dengan mengadakan amandemen terhadap Undang-Undang HKI yang telah ada (Hak Cipta, Paten dan Merek), serta membuat Undang-Undang HKI yang belum ada (Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu serta Perlindungan Varietas Baru Tanaman) yang semuanya telah sesuai dengan ketentuan TRIPs.

HKI sebagai konsep hukum merupakan terminologi umum untuk menyebut berbagai hak atau sekumpulan hak yang melindungi upaya kreatif  manusia atau khususnya perlindungan hukum atas hasil kreativitas manusia yg mengandung keuntungan ekonomis. Berbagai hasil karya kreatif manusia tersebut digolongkan menjadi 2 bagian besar yaitu Hak Cipta (Copy Right) dan Hak Milik Industri (Industrial Rights) yang meliputi Hak Paten, Hak atas Merek, Desain Industri, Desain Tata letak Sirkit Terpadu dan Rahasia Dagang. Semua hak-hak tersebut diatur dan dilindungi dalam sistem hukum HKI. Hukum juga memberikan jaminan perlindungan dengan menerapkan ancaman sanksi, dan upaya pemulihan hak lainnya yang dapat dipertahankan oleh pemilik hak  apabila terjadi pelanggaran.

Pranata hukum yang mengatur HKI di Indonesia telah lengkap dan secara efektif telah berlaku, yang didasarkan pada masing-masing obyek HKI sebagai berikut:

  1. UU 30/ 2000 tentang Rahasia Dagang
  2. UU 31/ 2000 tentang Desain Industri
  3. UU 32/ 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  4. UU 14/ 2001 tentang Paten
  5. UU 15/ 2001 tentang Merek
  6. UU 19/2002 tentang Hak Cipta ( berlaku efektif tgl 23 Juli 2003).

Bila dibandingkan dengan hak milik kebendaan yang lain, HKI merupakan konsep yang abstrak, karena bentuk kepemilikannya tidaklah nyata (intangible) serta wujud kepemilikan hanya berupa klaim atau tindakan hukum. Hal ini berarti bahwa kepemilikan hanya tercatat dalam format hak (biasanya berupa sertifikat) dan dalam pelaksanaannya memerlukan tindakan hukum, terutama bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu penegakan hukum HKI akan berjalan baik apabila ada kesadaran dan pengakuan serta penghargaan terhadap HKI oleh masyarakat dengan cara tidak menggunakan  atau memanfaatkan HKI milik orang lain tanpa ijin, sehingga merugikan pemiliknya.

Ada beberapa justifikasi perlindungan HKI sebagaimana pendapat Jill Mc Keuogh dan Andrew Stewart sebagai berikut :[4]

  1. Alasan Moral, seorang yang melakukan usaha kreatif memiliki hak dasar untuk diakui dan memiliki hasil karya kreatifnya. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 (2) Deklarasi Hak Asasi manusia yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan secara moral dan keuntungan material  dari hasil  kreativitasnya di bidang ilmu pengetahuan, karya seni dan sastra. Oleh karena itu seorang yang menghasilkan karya ( pencipta, inventor ) berhak untuk menikmati hasil jerih payahnya.
  2. Alasan Ekonomi, alasan ini didasarkan pada pertimbangan ekonomis bahwa proses atau tahapan penciptaan selalu ada biaya, waktu dan tenaga yang dikorbankan dan semua itu dibayar kembali. Selain itu perlindungan HKI juga diperlukan bagi pelaku bisnis dan masyarakat dari praktek persaingan yang curang.

Dari dua alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya perlindungan HKI akan menimbulkan “reward cycles” bagi orang yang menghasilkan karya, pelaku bisnis yang melakukan investasi dan perdagangan serta masyarakat sebagi konsumen, yang secara simultan dapat mendukung perkembangan  ekonomi dan sosial secara keseluruhan.

  1. B.   PERMASALAHAN
    1. Bagaimanakah perlindungan hukum atas hasil penelitian dilakukan oleh pengajar pada Perguruan Tinggi menurut regime perlindungan hak cipta dan Paten?
    2. Bagaimanakah penentuan hak atas pemanfaatan hasil penelitian yang dihasilkan oleh pengajar pada Perguruan Tinggi?

 

  1. C.   PEMBAHASAN
    1. 1.    Prinsip Dasar Perlindungan Hak Paten

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimanapun tidak dapat dilepaskan dari peran perguruan tinggi sebagai sumber utama invensi dari hasil-hasil penelitian secara berkesinambungan. Perlindungan hukum atas invensi-invensi melalui regim perlindungan paten merupakan langkah yang sangat strategis bagi pemanfataan invensi lebih lanjut dalam kegiatan perdagangan.

Pertama, keberadaan sistem paten, yang memungkinkan inventor mendapatkan hak eksklusif untuk melaksanakan invensinya pada waktu yang terbatas atau mengalihkan pada orang lain, memberikan landasan yang kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan, karena adanya jaminan perlindungan hukum bagi invensinya dalam  pemanfaatan selanjutnya sehingga peneliti juga bisa mendapatkan keuntungan ekonomis.

Kedua, Periode yang terbatas bagi pemegang hak paten untuk menggunakan invensi tersebut memberikan kesempatan bagi investor untuk mendapatkan pengembalian atas modal yang telah ditanamkan serta memberikan perlindungan atas persaingan usaha yang tidak jujur.

Ketiga, keberadaan sistem paten yang baik merupakan sumber informasi yang berharga bagi pengembangan, pengklasifikasian dan penyebarluasan teknologi bagi semua orang, terutama para peneliti agar tidak melakukan penelitian yang sudah pernah dilakukan dan hasilnya sudah dipatenkan oleh pihak lain (re-inventing wheel). Hal ini dimungkinkan, karena penerima paten juga diharuskan menguraikan invensinya secara lengkap, sehingga pada saat berakhirnya paten, informasi tersebut menjadi public domain yang bisa diakses siapa saja.

Terminologi paten berasal dari bahasa latin ”littera patents” yang berarti terbuka atau bebas.[5] Paten Venesia merupakan aturan hukum tertulis pertama yang memuat konsep dasar perlindungan paten misalnya memberikan hak istimewa bagi inventor untuk memonopoli invensinya selama 10 tahun.[6]

Dalam perkembangan selanjutnya prinsip dasar ini tetap berlaku dengan berbagai variannya, sampai pada aturan terbaru dalam TRIPs yang berlaku seragam untuk semua anggota WTO. Berlakunya TRIPs membawa perubahan yang cukup signifikan bagi sistem paten di Indonesia, karena Indonesia juga harus menyesuaikan pranata hukumnya. Ada 4 hal yang harus dipenuhi dalam pranata hukum paten di Indonesia sejalan dengan berlakunya TRIPs:

  1. Perluasan obyek paten untuk semua invensi baik berupa proses atau produk di semua bidang ilmu pengetahuan.(ps.27(1) TRIPs).
  2.  Pengakuan paten atas varitas baru tanaman (ps.27(2) TRIPs).
  3. Jangka waktu perlindungan paten selama 20 tahun dan tidak ada perpanjangan (ps.33 TRIPs).
  4. Berlakunya Azas pembuktian terbalik (reverse burden of proof) dalam pelanggaran paten.(ps 34 TRIPs).

Pasal 1 angka 1 UU 14/2001 menyatakan :

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri hasil penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

 

Dari definisi tersebut diatas ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan:

Pertama, paten pada hakekatnya adalah perjanjian antara negara (sebagai pemberi paten) dengan Inventor (sebagai penerima paten). Sebagai suatu perjanjian maka ada hak dan kewajiban yang harus dipatuhi, dalam hal paten negara memberikan hak kepada inventor untuk memanfaatkan invensinya secara eksklusif (monopoli), akan tetapi negara juga mewajibkan inventor untuk mengungkapkan invensinya secara rinci.

Kedua, Lingkup paten, Pemberian hak paten harus memenuhi 3 syarat (pasal 2 UU 14/2001) yaitu:

  1. Unsur kebaruan ( Novelty)

Suatu invensi dianggap baru, jika invensi tersebut tidak diantisipasi dalam “prior ar”t[7]. Penetapan “prior art” biasanya didasarkan pada adanya perbedaan antara publikasi yang dicetak atau pengungkapan lisan atau pemakaian sebelumnya.

  1. Mengandung langkah inventif (non- obviousness), artinya suatu invensi  mengandung langkah inventif apabila bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Untuk melihat apakah suatuinvensi mengandung langkah inventif didasarkan pada dua hal yaitu:pertama, merupakan hasil pemikiran yang kreatif , kedua, adanya kemajuan yang bermakna dari teknologi yang terdahulu.
  1. Dapat diterapkan dalam industri (industrial Applicable), invensi tersebut tidak hanya berupa teori, akan tetapi merupakan suatu proses atau produk yang dapat diaplikasikan dalam bidang manufaktur untuk menghasilkan barang secara massal.

Ketiga, jangka waktu perlindungan paten adalah 20 tahun untuk paten biasa/standart patent ( ps.8 UU 14/2001) dan 10 tahun untuk paten sederhana/petty patent (ps. 9 UU 14/2001).Rasio dari penetapan jangka waktu perlindungan bahwa dalam rentang waktu tersebut diatas inventor dan investor dianggap telah mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk  meneliti dan mengembangkan paten.

Keempat, Subyek paten adalah orang yang berhak memperoleh paten yaitu inventor atau beberapa inventor (untuk invensi yang dihasilkan bersama-sama).(ps.10 UU 14/2001).

Kelima, Hak pemegang paten(16 UU 14/2001), undang-undang memberikan hak bagi pemegang hak paten untuk melaksanakan patennya dan melarang pihak lain yg tanpa persetujuannya :

  1. Dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten;
  2. Dalam hal paten proses; menggunakan produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Keenam,Kewajiban pemegang paten adalah melaksanakan patennya di Indonesia, bila berupa paten produk maka wajib membuat produknya di Indonesia, bila berupa paten proses maka wajib menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia. (ps.17 UU 14/2001). Rasio ketentuan dalam poin kelima dan keenam adalah dengan pemberian paten diharapkan juga bisa terjadi alih teknologi, penyerapan investasi dan penyediaan lapangan pekerjaan sehingga secara simultan pemberian paten dapat menggerakan kegiatan perekonomian.

Ketujuh, paten diberikan atas dasar permohonan (stelsel konstitutif), karena dalam penentuan ada tahapan-tahapan yang harus dipenuhi sebelum permohonan  paten dikabulkan.

Kedelapan, Penyelesaian sengketa, apabila ada pelanggaran paten, undang-undang menawarkan tiga cara untuk menegakan hak yaitu melalui gugatan perdata (ps. 117 s/d123), melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa ( ps. 124) serta tuntutan pidana ( ps.130-133), satu hal yang harus diingat bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik (ps 119) hal ini berkaitan dengan sulitnya pembuktian pelanggaran paten dan untuk menjaga kepentingan yang wajar dari pemegang hak paten.

 

  1. 2.    Prinsip Dasar Perlindungan Hak Cipta

Bila dibandingkan dengan paten, maka pengaturan dan perllindungan hak cipta relatif lebih sederhana. Prinsip dasar dari hak cipta adalah adanya pengakuan hak bagi pencipta untuk mengkomersialisasikan ciptaannya dan melarang pihak lain untuk menggunakan ciptaannya tanpa seijin pencipta. Konsep Hak cipta ini berkembang secara bersamaan di Inggris dan di Perancis pada abad pertengahan yang membawa warna tersendiri dalam perkembangan pranata hukum hak cipta.

Konsep yang berkembang di Inggris dan diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, menitikberatkan perlindungan pada penerbit atau orang yang memiliki hak untuk memperbanyak ciptaan (copyrights) dari tindakan penggandaan yang tidak sah.

Sedangkan konsep yang berkembang di Perancis dan diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law, menitikberatkan perlindungan kepada pencipta yang memiliki hak tidak hanya untuk mengontrol kepentingan ekonomi tetapi juga adanya pengakuan dan perlakuan terhadap integritas pencipta (droit d’auteuers) yang dimunculkan dalam “moral rights[8]. Dalam perkembangan selanjutnya kedua konsep ini saling berpengaruh, akan tetapi istilah yang lazim dipakai adalah copyrights untuk menyebut hak cipta.

Perkembangan pranata hukum hak cipta di Indonesia juga berubah sejalan dengan diratifikasinya perjanjian TRIPs. Beberapa hal yang harus diamandemen dalam Undang-Undang hak cipta Indonesia agar sesuai dengan ketentuan Pasal 9- 12  TRIPs sebagai berikut:

  1. Semua negara anggota harus tunduk pada ketentuan dalan Konvensi Bern[9].
  2. Hak cipta hanya melindungi ekspresi bukan ide, prosedur ataupun metode dan konsep matematika.
  3. Negara peserta harus memberikan perlindungan hukum atas program komputer dan data base dalam regim hak cipta.
  4. Negara peserta harus mengatur rental rights[10] untuk computer program dan karya sinematografi.
  5. Jangka waktu perlindungan karya cipta, kecuali hak atas karya fotografi dan seni terapan, tidak boleh kurang dari  seumur hidup pencipta ditambah  50 tahun.

Ketentuan dalam TRIPs ini di adopsi oleh Indonesia dalam Undang-undang 12/1997 tentang Hak cipta  dan Undang-Undang 19/2002 tentang Hak Cipta yang akan berlaku efektif tanggal 23 Juli 2003.

Pasal 1 angka 1 UU 19/2002 menyatakan:

Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 1 angka satu tersebut diatas dapat dianalisa sebagai berikut:

Pertama, Hak cipta pada hakekatnya adalah perjanjian antara pencipta dengan pihak lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak  ciptaannya. Konsekuensi logis dari definisi ini adalah:

  1. peran pemerintah hanyalah sebagai administrator, akan tetapi tidak menerbitkan atau memberikan hak seperti paten.Hal ini tercermin dalam sistem pendaftaran hak cipta yang bersifat Negatif Deklaratif artinya Setiap orang yang mendaftarkan karya ciptanya dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya (pasal 5) .
  2. Pada dasarnya hak cipta diakui keberadaannya apabila ciptaan itu merupakan karya original (hasil dari daya kreativitas pencipta) dan dalam bentuk yang tetap dan nyata (fix and tangible) (pasal 12).
  3. Pendaftaran ciptaan bukanlah suatu keharusan, karena tanpa  pendaftaranpun karya cipta secara otomatis sudah mendapatkan perlindungan hukum (Pasal 2). Adapun cara yang diakui secara internasional sebagai berikut[11]:
  • Untuk karya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra cukup dengan membubuhkan tanda Ó disertai nama pencipta dan tahun penerbitan.
  • Untuk karya rekaman (audio dan audiovisual) dengan membubuhkan tanda P atau N didalam lingkaran disertai tahun penerbitan.
  • Untuk memperkuat pengakuan perlindungan hak cipta dapat ditambahkan maklumat “Todos los derechos reservados” /“All Rights Reversed”[12]

Kedua, Undang- undang telah menetapkan secara limitatif jenis ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra sebagai berikut (ps.12 UU19/2002):

  • Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
  • Seni rupa, dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
  • Arsitektur;
  • Peta;
  • seni batik;
  • fotogafi;
  • Sinematografi;
  • Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Ketiga, jangka waktu berlakunya hak cipta berdasarkan obyeknya secara umum adalah selam hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia kecuali, program komputer, sinematografi, data base dan karya pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Sedangkan hak cipta atas susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertamakali diterbitkan (pasal 29 dan 30).

Keempat, Hak Pencipta dan atau pemegang hak cipta dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah mengijinkan atau melarang orang lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya. Sedangkan hak moral adalah hak  yang melekat pada pencipta , yaitu hak untuk selalu  dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan  hak atas keutuhan ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul. Hak moral ini tidak bisa dialihkan seperti hak ekonomi.

Kelima, Pemanfaatan hak cipta tidaklah sepenuhnya bersifat monopoli seperti paten, karena ada pengecualian-pengecualian yang berdasarkan pada pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat (fair dealing)[13], yang tidak termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU 19/2002 sebagai berikut:

Pasal 14

Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta:

    1. Pengumuman dan atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
    2. Pengumuman dan atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh dan atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika karya cipta itu diumumkan dan atau diperbanyak;
    3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal 15

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:

  1. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
  2. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
  3. Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan:

(i)            ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau ;

(ii)           pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;

  1. Perbanyakan suatu   ciptaan  bidang ilmu pengatahuan, seni dan sastra dalam huruf braille guna keperluan tuna netra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
  2. Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
  3. Perubahan yg dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti  ciptaan bangunan;
  4. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

 

 

Persoalan yang biasanya muncul berkaitan dengan fair dealing ini adalah seberapa banyak seseorang dapat menggunakan ciptaan pihak lain dengan alasan untuk pengembangan, penelitian dan pendidikan. Undang-Undang memberikan batasan secara kualitatif artinya pengambilan ciptaan pihak lain tidak lebih dari 10 % dari bagian yang paling substansial dan menjadi ciri khas suatu ciptaan, walaupun dalam prakteknya cukup sulit untuk menentukan hal ini.

 

  1. Aspek  Perlindungan Hukum HKI untuk Hasil Penelitian di Perguruan Tinggi

Ada beberapa persoalan mendasar berkaitan dengan perlindungan HKI atas Hasil penelitian di Perguruan Tinggi.

Pertama, siapakah yang paling berhak untuk mendapatkan Hak kekayaan intelektual? untuk menjawab pertanyaan ini , kita harus menelusuri kembali proses dari penelitian yang bersangkutan, karena ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi:

  1. Bila penelitian dilakukan oleh peneliti dengan kapasitas sebagai dosen Universitas, dibiayai oleh universitas, dilakukan dalam jam kerja dan menggunakan fasilitas milik universitas, maka menurut undang-undang pemilik HKI adalah Universitas, karena universitas dapat disetarakan sebagai majikan.
  2. Bila penelitian dilakukan oleh peneliti dengan sumber pendanaan dari luar universitas, maka pemilik HKI adalah pihak yang mendanai penelitian tersebut, peneliti hanya berhak disebut namanya sebagai inventor atau pencipta, pemberi dana dapat disetarakan dengan pemesan.
  3. Bila penelitian dilakukan oleh peneliti dengan sumber pendanaan dari luar universitas, akan tetapi menggunakan fasilitas universitas maka pemilik HKI adalah pemberi dana dan Universitas.
  4. Bila penelitian dilakukan dan dibiayai sendiri oleh peneliti, akan tetapi menggunakan fasilitas universitas maka pemilik HKI adalah peneliti dan universitas.
  5. Bila penelitian dilakukan dan dibiayai sendiri oleh peneliti, maka pemilik HKI adalah peneliti.

Persoalan kepemilikan HKI  dalam konteks hubungan kerja dianut prinsip bahwa majikan/ pemesan yang menjadi pemilik HKI ( ps.12 UU 14/2001 dan ps 8 UU 19/2002). Ketentuan tersebut diatas bukanlah harga mati, karena untuk menentukan kepemilikan HKI para pihak yang bekerja sama dapat membuat kesepakatan-kesepakan tentang kepemilikan HKI dari hasil penelitian, apalagi bila dilihat bahwa kedudukan antara dosen dan universitas tidaklah persis sama seperti dalam hubungan majikan dan karyawan dalam suatu perusahaan, sehingga penentuan kepemilikan hasil penelitian bukanlah hal yang mudah.

Sebagai bandingan, di Australia sejak tahun 1995 terbentuk komite yang terdiri dari para wakil rektor se- Universitas di Australia yang duduk bersama untuk menetapkan pedoman dasar kepemilikan HKI untuk hasil penelitian di Universitas, walaupun pelaksanaan selanjutnya diserahkan pada kebijakan masing-masing universitas. [14] Pada umumnya penentuan kepemilikan disandarkan pada asumsi hukum secara umum dan dibedakan menurut obyek HKI-nya misalnya[15]:

a. Hasil penelitian  yang dihasilkan oleh dosen dalam kaitan dengan pekerjaannya dan terikat perjanjian kerja dengan universitas, biasanya universitas adalah pemilik HKI kecuali diperjanjikan lain dengan tidak mengesampingkan kepentingan peneliti misalnya:

  • Adanya pembagian keuntungan yang seimbang (fair share) bila karya tersebut dikomersialisasikan;
  • Adanya jaminan  yang layak atas keutuhan karya (hasil penelitian);
  • Adanya pengakuan sebagai inventor atau pencipta.

b. Hasil penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan fasilitas (laboratorium, computer, media lainnya maka pemilik HKI adalah  Universitas.

c.  Bila hasil penelitian tersebut berbasis pada  hasil penelitian terdahulu milik universitas (baik yang dipatenkan atau tidak) maka pemilik HKI adalah Universitas.

d. Bila penelitian itu melibatkan beberapa dosen, karyawan dan mahasiswa maka pemilik HKI adalah Universitas.

e. Bila penelitian didanai oleh Universitas secara langsung maka pemilik HKI adalah Universitas, kecuali diperjanjikan lain.

Kedua, Bagaimanakah bentuk perlindungan hukumnya? Untuk menjawab persoalan ini maka harus dicermati dulu  dalam bentuk apa  hasil penelitian itu sendiri. Bila yang dimaksud adalah laporan penelitian (karya tulis) , maka bentuk perlindungan HKI mengikuti regime hak cipta. Bila yang di maksud adalah teknologi maka dapat dipilah-pilah menurut obyek HKI, misalnya bila hasil penelitian tersebut merupakan teknologi ( baik proses maupun produk) maka bentuk perlindungan hukumnya mengikuti paten, paten sederhana atau rahasia dagang. Bila hasil penelitian berupa bentuk dua dimensi atau tiga dimensi yang lebih ditekankan pada penampakan luar maka bentuk perlindungannya mengikuti desain.

Ketiga, strategi perencanaan untuk mendapatkan HKI atas hasil penelitian. Persoalan ini akan muncul apabila hasil penelitian tersebut merupakan invensi  yang mungkin dapat didaftarkan HKI-nya. Misalnya, Hasil penelitian yang berupa teknologi yang layak dipatenkan. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh peneliti adalah persoalan cara, tempat dan waktu  pengungkapan invensi atas penelitian dengan tanggal diajukannya permohonan paten, karena bila tidak cermat akan dapat menggugurkan unsur kebaruan (novelty) dari invensi  hasil penelitian tersebut.

Ada tiga cara yang dianggap sebagai pengungkapan invensi yang bisa dianggap sebagai bagian prior art sebagai berikut [16]:

  • Penguraian invensi melalui tulisan secara rinci yang diterbitkan atau dipublikasikan;
  • Penguraian invensi secara lisan yang diungkapkan di muka umum;
  • Pengungkapan melalui pemakaian di muka umum, sehingga setiap orang mampu memakainya.

Persoalan cara dan waktu pengungkapan invensi dan kebijakan penentuan unsur kebaruan seringkali menimbulkan permasalahan, karena adanya perbedaan kepentingan antara peneliti dan ketentuan dalam Undang-undang paten. Seorang peneliti, biasanya apabila menghasilkan invensi maka ingin mempublikasikan secepatnya bahkan tidak jarang publikasi itu memuat informasi yang terinci ( step by step) sehingga orang lain yang mempunyai ketrampilan yang sama dengan peneliti dapat mengapplikasikan invensi tersebut. Sedangkan undang-undang mensyaratkan bahwa invensi dianggap baru apabila tanggal penerimaan invensi tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya (pasal 3 ayat1). Hal inilah yang menyebabkan suatu invensi kehilangan unsur kebaruan (novelty-nya) karena pada saat invensi tersebut diajukan hak patennya, deskripsi paten dan publikasi (misalnya dalam bentuk artikel, atau demo) tidak ada perbedaan, karena semua informasi sudah diungkap seluruhnya maka invensi tersebut tidak lagi layak untuk dipatenkan.

Sedangkan yang berkaitan dengan tempat pengungkapan, UU 14/2001 menganut regime novelty yang bersifat universal sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 3 (2) yang artinya bahwa suatu invensi dianggap baru bila invensi tersebut belum pernah diungkapkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.

Untuk menjembatani persoalan pengungkapan yang menjadi bagian prior art dan tenggang waktu untuk mengajukan hak paten maka undang-undang memberikan tenggang waktu seperti yang diatur dalam pasal 4 UU 14/2001 yang intinya: Suatu invesi dianggap baru dalam waktu paling lama 6 bulan sebelum invensi tersebut didaftarkan dan diterima pendaftarannya (filling date), bila invensi tersebut dipertunjukkan dalam pameran resmi secara nasional atau internasional atau invensi telah digunakan di Indonesia oleh inventor sebagai bagian dari penelitian(ayat 1). Invensi tetap dianggap baru, apabila dalam jangka waktu 12 bulan setelah filling date, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kerahasiaan invensi tersebut (ayat 2). Oleh karena itu diperlukan kebijakan dari peneliti untuk tidak mengungkapkan invensinya kepada umum sebelum permohonan paten diajukan.

Keempat, hal lain yang patut dipertimbangkan dalam perencanaan pengajuan HKI atas hasil penelitian adalah pilihan HKI mana yang paling menguntungkan bagi peneliti pada saat invensinya dikabulkan HKI-nya. Berikut ini ditampilkan sisi pasitif dan negatif dari perlindungan HKI menurut obyeknya.

a. Bila invensi tersebut akan dimohonkan hak patennya (baik paten standar maupun paten sedarhana). Segi positifnya: perlindungan hukum paling strategis dan penegakan hukumnya paling kuat, bila dikabulkan patennya kemungkinan pengalihan haknya mudah dan jelas. Segi negatifnya: biaya pengajuan dan biaya lainnya mahal, prosesnya lama dan tidak pasti. Oleh karena itu harus diperhitungkan dengan cermat apakah invensi tersebut layak untuk dipatenkan atau tidak dan apakah cost and benefit nya seimbang.

b. Bila invensi tersebut tidak dimohonkan hak paten, maka invensi tersebut tetap bisa dilindungi melalui rahasia dagang. Segi positifnya : prosedur mudah, karena tanpa pendaftaran, kecuali bila akan dialihkan ke pihak lain (perjanjian pengalihannya yang didaftarkan  di dirjen HKI bukan substansinya). Segi negatifnya : penegakan hukumnya sulit kecuali sejak awal sudah dibuat perjanjian yang jelas ( tertulis) bahwa semua orang yang terlibat dalam penelitian yang menghasilkan invensi diwajibkan untuk menjaga kerahasiaannya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pilihan mana yang akan diambil dengan mempertimbangkan segala kelebihan dan kekurangan hasil penelitian tersebut, termasuk kemungkinan pemanfaatan komersialnya, karena tidak semua invensi dapat di patenkan dan invensi  yang mendapat hak patenpun tidak selalu dapat langsung dikomersialisasikan. Hanya invensi yang tepat dengan waktu dan permintan pasarlah yang akan menguntukan bila diajukan hak patennya. ( Lihat box 1: kisah sukses dan gagalnya suatu invensi, box 2: Pemberian paten pertama dan komersialisasi pertama dari invensi).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BOX 1: SUCCESS AND FAILURE IN PATENTING ACADEMIC RESEARCH[17]

 

Successes

Magnetic Resonance Imaging (MRI)- Research in a number of UK Universities( oxford, Aberdeen, Nottingham) was initially funded by the Medical Research Council to develop the physical phenomenon of Nuclear Magnetic Resonance (MNR) for medical diagnosis. The Universities developed the technique of MNR to produce images of the inside of bodies in cross section, colour cded according to the chemical  and physical characteristics of the organs present. MRI now is used extensively throughout the world as a diagnostic tool in a wide range of medical areas. The values of the IPR involved in MRI was regognised at the outset, patented through BTG, and academic sources now have recieved over £30 M each year fro their share of royalties and licence payment.

 

Failure

Monoclonal antibodies- In fighting infection, B-cells in the body produce proteins called antibodies, which attach themseselves onto foreign cells, activating other immune cell to kill the antibody labelled invader. Prior to 1975 antibodies were produce artificially through fermentation, although production based ceased only after a few hours. However, in 1975 Kohler and Milstein, working at the MRC laboratories in Cambrigde, developed an alternative approach which fused B cells to cancer cells to produce hybridoma cells as the production can produce itself, this extends the lifetime of B cell through fermentation.

Since 1975, hundreds of applications for monoclonal antibodies have been found, including a wide range of medical and vetenary diagnostic tests and to extract other proteins products from cultures of genetically engineered organism. Attempts are now being made to produce secong generation of menoclonal antibodies can deliver precise and accurate doses of drug onto cancer cells, thereby avoiding the adverse effects of chemotherapy. Monoclonal antibodies were not patented, and thus the MRC recieve no royalties or licence fees from their invention.

Sumber :Patents, Research and Technology, Compatibilities and Conflicts, Parlementary Office of Science and Technology, London, 1996, h.42

 

BOX 2: TIME ELAPSE BETWEEN FIRST PATENTED INVENTION AND COMMERCIAL PRODUCTS

 

 

Invention                                 First Patents                Commercial Products

 

DDT                                        1874                            1942

Fluorescent lighting                 1859                            1933

Helicopter                                1912                            1941

Insulin                                      1920                            1924

Jet Engine                               1791                            1944

Penicillin                                  1928                            1944

Power steering                        1925                            1931

Radar                                      1904                            1935

Radio                                       1900                            1915

Space Rockets                       1920                            1944

Safety Razors                         1895                            1905

Television                                1905                            1940

Transistor                                1948                            1955

Zip Fastener                            1891                            1923

Sumber: Patents, Research and Technology, Compatibilities and Conflicts, Parlementary Office of Science and Technology, London, 1996, hal. 37

 

  1. D.   KESIMPULAN
    1. Perguruan Tinggi mempunyai peluang yang sangat besar untuk menghasilkan penelitian dan karya cipta yang mendapat perlindungan hukum HKI.
    2.  Perlu sosialisasi HKI secara berkesinambungan untuk mendapatkan pemahaman yang sama tentang HKI.
    3. Perlu segera dibuat aturan yang jelas  tentang hak dan kewajiban antara pengajar, mahasiswa dan fakultas dan atau Universitas dalam pemanfaatan secara ekonomis  karya penelitian maupun karya cipta  yang telah  dihasilkannya sehingga dapat menguntungkan semua pihak.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

CLRC, Copyrights Reform : A Consideration of Rationales, Interest and Objectives, 1993

Executive Summary, Presentation to IASTP intellectual Property Rights, 1997.

Hanns Ulrich,GATT: Industrial Property Protection, Fair Trade and Development, ICC Studies Volume 11, Max Planck Institute, Munich, 1998.

Konvensi Pan Amerika Revisi Havana 1928.

Keputusan Mentri Hukum dan Perundang-undangan RI no.03.PR.07.10 tahun 2000.

Mc Keough and Stewart, Intellectual Property In Australia, 2nd Edition, Butterworth, Sydney, 1998.

Ownership of Intellectual Property Rights in Universities, a discussion paper, AVCC, Canberra, 1995.

Patents, Research and Technology, Compatibilities and Conflicts, Parlementary Office of Science and Technology, London, 1996.

Winfried Arnold, Patent in the Field of Biotechnology, A short Guide to inventors and Administrators, http://www.ipmall.flp.edu

 

 


 

[1] Penulis adalah Pengajar pada Fakultas Hukum  Universitas Brawijaya Malang.

 

[2] Pemakaian istilah HaKI menjadi HKI berdasarkan Keputusan Mentri Hukum dan Perundang-undangan RI no.03.PR.07.10 tahun 2000.

 

[3] Hanns Ulrich,GATT: Industrial Property Protection, Fair Trade and Development, ICC Studies Volume 11, Max Planck Institute, Munich, 1998, hal.129.

[4] Mc Keough and Stewart, Intellectual Property In Australia, 2nd Edition, Butterworth, Sydney, 1998, h. 16-17.

[5] Winfried Arnold, Patent in the Field of Biotechnology, A short Guide to inventors and Administrators, http://www.ipmall.flp.edu

 

[6] Mc Keough dan Stewart, op.cit, hal 217.

[7] Prior art atau state of art secara sederhana dapat diartikan semua pengetahuan yang telah ada sebelum tanggal penerimaan suatu permintaan paten(filling date),baik melalui pengungkapan tertulis maupun lisan.

[8] Didalam hak cipta ada  hak yang berkaitan dengan karya cipta yaitu: Economic Rights dan Moral Rights. Economic Rights adalah hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan keuntungan ekonomi seluas-luasnya atas karya ciptanya. Economic Rights ini terdiri dari Mechanical Rights dan Performing Rights. Moral Rights adalah hak pencipta yang berkaitan dengan pribadi pencipta dan penggunaan karya ciptanya. Moral right meliputi Attributive Right dan Integrity Right.

 

[9] Konvensi Bern adalah konvensi  pertama dan  utama yang mengatur Hak cipta, tujuan dari konvensi ini adalah membentuk pengaturan hak cipta yang seragam disetiap negara peserta.

 

[10] Rental Rights adalah hak yang dimiliki oleh pencipta program komputer dan karya sinematografi untuk melarang atau mengijinkan penggunaan karyanya secara komersial kepada publik.

[11] Ketentuan dari Universal Copyrights Convention tahun Revisi Paris 1971.

 

[12] Ketentuan Konvensi Pan Amerika Revisi Havana 1928.

[13] The existing notion of fair dealing reflects cultural values relating to the use of material in the interests accsess for the purposes of those concerned with the preservation and promotion of learning, culture, knowledge and ideas ( CLRC, Copyrights Reform : A Consideration of Rationales, Interest and Objectives, 1993, h.13)

[14] Ownership of Intellectual Property Rights in Universities, a discussion paper, AVCC, Canberra, 1995, h.8.

 

[15] ibid, h.9-12.

[16] Executive Summary, Presentation to IASTP intellectual Property Rights, 1997,h.23.

 

 
Leave a comment

Posted by on 4 May 2012 in artikel jurnal

 

Tags: , ,